MUHAMMADIYAH.OR.ID, PALANGKARAYA—Pada era post truth dengan obesitas informasi yang tinggi, sebagian masyarakat mengalami kesulitan untuk membedakan akurat tidaknya sebuah informasi.
Terkait dengan vaksinasi sebagai cara untuk menekan laju penyebaran virus covid-19, setidaknya ada 26 persen masyarakat yang tidak percaya. Meski tergolong sedikit, tapi jika yang 26 persen tersebut adalah orang-orang yang vocal dan popular di media sosial, hal tersebut bisa mengagalkan iktiar untuk mengakhiri pandemic.
Selain itu, terkait dengan penerimaan masyarakat terhadap vaksin juga erat kaitannya dengan polarisasi politik yang sangat kuat dan mempengaruhi cara berfikir yang penuh kecurigaan. Hal ini yang menurut Prof. Alimatul Qibtiyah sebagai batu sandungan yang serius dalam relasi sosial masyarakat.
“Selama enam bulan pertama jumlah hoak covid sangat tinggi, sangat banyak. Data dari Mafindo, hoax kesehatan mencapai 519 atau 56 persen dari total 926 hoak selama enam bulan,” ungkapnya pada (16/1) saat memberikan materi dalam acara Seminar yang diadakan PW ‘Aisyiyah Kalimantan Barat.
Jumlah hoax kesehatan meningkat dari tahun 2019 yang hanya berjumlah 86 atau 7 persen dari total hoax dalam setahun yang mencapai 1221. Tidak bisa dipungkiri merebaknya virus covid-19 seiring sejalan dengan gelombang hoak kesehatan yang tinggi. Hoak covid juga diboncengi dengan aneka tema seperti agama, politik, dan SARA.
Dialog Agama dan Sains Hadapi Pandemi
Menurut anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah ini, meski MUI telah memfatwakan boleh dan tidak haram untuk Vaksin Sinovac, tapi masih terjadi gelombang penolakan terhadap vaksin ini.
Terkait dengan sikap terhadap vaksin covid-19, Muhammadiyah telah menunjukan lima sikap untuk kemaslahatan bersama. Yakni memberikan masukan kepada pemerintah, aktif melakukan upaya penghakiman pandemic, menjaga netralitas politik, melakukan kajian dengan MCCC dan Majelis Tarjih, dan melakukan sosialisasi sikap.
“Sebenarnya Muhammadiyah sudah sangat awal terkait dengan persoalan vaksin ini, dan sudah meresponnya dengan baik,” imbuhnya.
Melihat dari perspektif perempuan terkait vaksin, Prof. Alimantul Qibtiyah menyebut ada hoak yang meyebut vaksin ini berpengaruh dan merusak kesuburan perempuan. Hal ini menurutnya perlu diluruskan, karena informasi tersebut tidak benar.
“Pertanyaan kritis kita adalah gimana kita ingin mengupayakan perempuan hamil ini supaya bisa mendapatkan vaksin, tapi yang tidak berdampak pada janinnya,” pungkas Guru Besar UIN Sunan Kalijaga ini.