MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Untuk membendung arus radikalisme dan liberalisme yang makin kuat di tengah era globalisasi, beberapa tokoh dan organisasi Islam mulai sering menyuarakan soal wasathiyah Islam, atau Islam Tengahan, atau juga sering dikenal istilah ‘moderasi beragama’.
Akan tetapi menurut Ketua LPP Al Islam dan Kemuhammadiyahan UHAMKA, Muhib Rasyidi, ada perbedaan mendasar antara ‘moderasi beragama’ dengan ‘wasathiyah Islam’ terkait relasi subjek dan objek.
Moderasi beragama mengandung tujuan negara untuk mengatur agama, sedangkan wasathiyah Islam mengandung maksud agar satu agama memperkuat keberadaan dan eksistensi negara.
“Moderasi mengontrol praktik keberagamaan dengan tujuan stabilitas negara, tapi kalau kita bicara tentang wasathiyah Islam maka yang kita inginkan tujuannya adalah mengembangkan negara dengan spirit Islam,” jelasnya.
Dalam forum International Conference On Women Peace And Harmony 2022 PPNA, Rabu (31/8), Muhib menerangkan bahwa Al-Wasath mengandung makna posisi tengah di antara ekstrim kanan dan ekstrim kiri. Akan tetapi, wasathiyah Islam tidak lantas berarti sebuah posisi tidak berprinsip.
Mengutip Surat Al-Baqarah ayat 143, Muhib menjelaskan visi moderat ‘Ummatan Wasathan’ atau umat tengahan itu seperti posisi seorang wasit dalam satu pertandingan. Wasit tetap memegang teguh pada nilai tertentu kendati tidak memihak salah satu kubu.
“Tapi kan ada (moderat) yang tidak memihak. Nah ini yang salah, itu bukan moderat. Moderat itu harusnya memihak pada kebenaran. Itulah yang disebut sebagai wasathiyah,” ujarnya.
Menurutnya, sikap inilah yang harusnya dikembangkan agar sebuah masyarakat hidup dalam risalah kenabian (prophetic society).
“Islam tampil sebagai advance and excellence society. Masyarakat unggul berkemajuan, itulah yang namanya syuhada’a ‘alan naas. Bukan sekadar hidup, itu bukan. Bukan sekadar hidup berdampingan dengan agama lain, tapi juga bisa mengayomi agama lain seperti dalam Piagam Madinah,” terangnya.
Lebih lanjut, Muhib menilai sikap moderat tidak tumbuh secara tiba-tiba, namun memerlukan pra syarat seperti sumber daya manusia yang terdidik, terpelajar, dan berilmu.
“Tidak mungkin kita jadi wasathiyah kalau kita tidak mencapai keunggulan. Orang yang pinter, baik, dan cerdaslah yang baru bisa (bersikap) wasathiyah. Kalau ndak, ya ndak bisa. Itu seperti begini, orang bisa hidup sederhana kalau kaya terlebih dahulu. Kalau tidak kaya, tidak bisa hidup sederhana karena orang miskin itu bukan hidup sederhana, tapi karena terpaksa,” rangkum Muhib. (afn)
Hits: 18