MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG—Kurang dari satu setengah tahun, Indonesia akan memasuki pesta demokrasi. Pada pemilu kali ini rakyat berhak memilih anggota DPR, DPD, DPRD, serta presiden dan wakil presiden pada 14 Februari 2024. Mengutip UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, Anggota PP Nasyiatul Aisyiyah 2016-2022 Nurlia Dian Paramita menyebut orang-orang yang berhak memilih di pesta demokrasi 2024, di antaranya:
1) Warga negara Indonesia; 2) Warga yang genap berusia 17 tahun; 3) Tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya; 4) Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; 5) Berdomisili di wilayah administratif pemilih yang dibuktikan dengan KTP elektronik; dan 6) Tidak sedang menjadi anggota TNI atau Polri.
Nurlia kemudian menyoroti catatan perjalanan Pemilu 2019. Menurutnya, pada 2019 terjadi fenomena miris dengan meninggalnya para penyelenggara Pemilu, meningkatnya produksi hoax, merebaknya politisasi SARA, budaya politik uang yang masih tinggi, dan pemilihan Presiden lebih dominan sehingga pemilihan legislatif tidak populer. Fenomena ini tidak boleh diulang pada pemilu 2024.
Nurlia berharap kampanye pasangan calon mendekatkan pada kebutuhan masyarakat, narasi produktif, dialogis dengan warga pemilih. Kampanye gagasan ide, bukan adu domba apalagi pendekatan berbasis SARA. Karenanya, penegak hukum tidak perlu segan memberi sanksi diskualifikasi dengan pendekatan administratif kepada mereka yang telah berbuat curang dan merusak tenun persatuan.
“Pada 2019 yang gaungnya besar justru pemilihan presiden, sementara pemilihan legislatif cenderung kurang diperhatikan. Kita harus tanamkan pada masyarakat bahwa dua-duanya baik pilpres maupun pileg sama-sama penting,” ucap Nurlia dalam Gerakan Subuh Mengaji (GSM) ‘Aisyiyah Jawa Barat pada Kamis (22/12).
Selain itu, Nurlia juga menyampaikan bahwa suara perempuan dalam Pemilu 2024 begitu penting. Kehadiran perempuan akan mendorong kebijakan yang inklusif, kontekstual, relevan, serta memberi ruang partisipasi publik dan aktivisme yang setara, bermakna, dan berdampak untuk transformasi sosial lewat kerja bersama berbagai pihak.
“Ini tantangan bagaimana perempuan kalau terlibat dalam sebuah proses, maka kita bisa menegakkan prinsip kita. Apalagi kita di ‘Aisyiyah bagaimana kemudian inklusivitas tercipta di ruang publik,” ucap Nurlia.
Hits: 130