MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (19/10), Syamsul Anwar menjelaskan bahwa metode ijtihad yang terdapat dalam Manhaj Tarjih menggunakan asumsi integralistik dan asumsi hirarkis. Asumsi integralistik ialah mengumpulkan seluruh dalil yang saling terhubung. Sementara asumsi hirarkis adalah suatu anggapan bahwa norma itu berjenjang dari norma yang paling bawah hingga norma paling atas.
Apabila lapisan norma tersebut dilihat dari atas ke bawah maka lapisan norma pertama ialah nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah). Syamsul menerangkan bahwa nilai dasar ini adalah norma-norma abstrak yang diserap dari semangat al-Quran dan al-Sunah dan merupakan nilai yang paling esensial dalam ajaran Islam seperti nilai tauhid, kemaslahatan, persamaan, toleransi, akhlak yang mulia, dan lain-lain.
Lapisan kedua ialah asas-asas umum (al-ushul al-kulliyah). Menurut Syamsul, Asas umum merupakan konkretisasi dari nilai dasar dan abstraksi dari lapisan norma di bawahnya. Peran asas-asas umum ini juga sebagai jembatan yang menghubungkan nilai dasar dan ketentuan praktis. Asas ini ada yang sudah diformulasi dalam rumusan yuristik dan dinamakan kaidah fikih dan ada yang tidak dirumuskan dan disebut an-nazariyyat al-fiqhiyyah (asas-asas hukum Islam).
Lapisan paling bawah atau ketiga adalah ketentuan hukum praktis (al-ahkam al-far’iyyah). Pada lapisan terakhir ini langsung mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syar’I seperti menentukan hukum taklifi (halal-haram) dan wad’i (syarat-sebab).
Dalam Edaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 04/Edr/I.0/E/2020 Tentang Tuntunan Salat Idulfitri dalam Kondisi Darurat Pandemi Covid-19, Majelis Tarjih menggunakan struktur norma di atas. Dalam Surat Edaran yang dikeluarkan pada tahun 2020 sebagai respon terhadap bencana pandemi tersebut, Majelis Tarjih menggunakan nilai dasar (al-qiyam al-asasiyyah): kemaslahatan.
“Tujuan agama adalah untuk memberikan rahmat kepada manusia, yang dalam filosofi fikih disebut perwujudan kemaslahatan (tahqiq al-mashalih). Ini didasarkan kepada firman Allah: Tiadalah Kami utus engkau (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi semesta alam,” terang Syamsul sambil mengutip QS. Al Anbiya ayat 107.
Nilai dasar kemaslahatan ini menurunkan lima asas (al-ushul al-kulliyah): pertama, kemudahan (al-taisir). Asas ini ditegaskan baik dalam Al-Quran, dalam sunah Nabi saw maupun dalam rumusan-rumusan kaidah fikih, misalnya dalam QS. Al Baqarat ayat 185 disebutkan bahwa Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran.
Kedua, sesuai kemampuan (‘ala hasab qudrah). Berdasarkan asas ini, bertakwa kepada Allah menurut kesanggupan. Dalam hadis disebutkan: “Dari Abu Hurairah, dari Nabi saw (diriwayatkan bahwa) beliau bersabda: … dan jika aku perintahkan kamu melakukan sesuatu, kerjakanlah sejauh kemampuanmu (Hadis muttafaq ‘alaih). Hal itu karena Allah tidak membebani hamba-Nya, kecuali sejauh kadar kemampuannya (QS. Al Baqarah: 286).
Ketiga, tidak menimbulkan mudarat (‘adam al-dharar). Umat Islam mesti berusaha menghindarkan kita jatuh ke dalam kebinasaan seperti diperingatkan Allah dalam QS. Al Baqarah ayat 195 dan demi menghindari mudarat seperti ditegaskan dalam sabda Nabi saw. Keempat, sesuai tuntunan (muwafaqat al-sunnah al-nabawiyah). Kelima, asas prioritas.
Dari nilai dasar dan asas-asas umum kemudian lahirkan norma-norma konkret atau fatwa keagamaan seperti salat id di lapangan sepanjang masa pandemi ditiadakan, tidak melaksanakan salat tarawih di masjid, salat Jumat di masjid juga diganti dengan empat rakaat salat zuhur yang dikerjakan ke rumah masing-masing, dan lain-lain.
“Inilah struktur norma yang digunakan Majelis Tarjih ketika mengeluarkan fatwa tentang pelaksanaan ibadah di masa darurat pandemi,” ucap Guru Besar Hukum Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga ini.
Hits: 77