MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Muhammadiyah-’Aisyiyah memiliki ratusan perguruan tinggi yang tesebar di seluruh Indonesia. Akan tetapi dosen Universitas Gadjah Mada Mutiah Amini menyayangkan bahwa hanya ada sedikit di antaranya yang punya Program Studi Sejarah.
“Jumlah perguruan tinggi Muhammadiyah-’Aisyiyah memiliki jumlah yang luarbiasa. Tetapi kalau kita lihat Program Studi Sejarah masih sangat sedikit. Kalau jumlah ini bisa kita diperbesar, ini menjadi peluang kita mendapatkan historiografi Muhammadiyah secara lebih besar,” ujar Mutiah dalam forum Kongres Sejarawan Muhammadiyah pada Sabtu (27/11).
Mutiah kemudian menyarankan agar mengembangkan pola family history dalam penulisan sejarah Muhammadiyah. Family history sangat potensial dikembangakan, terutama jika dilihat perkembangan yang cepat dan direproduksi melalui ikatan keluarga sejak awal hingga kini. Penulisan family history juga dapat mengisi kekosongan historiografi Muhammadiyah saat ini.
Pola penulisan family history Muhammadiyah ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah, di antaranya: pertama, melihat relasi Muhammadiyah dengan organisasi otonomnya dalam kerangka sebagai sebuah keluarga. Kedua, menempatkan sejarah keluarga sebagai satu hubungan relasi internal antarwarga Muhammadiyah.
“Artinya, jika karya sejarah sebelumnya telah menulis berbagai hal tentang perkembangan Muhammadiyah di lingkup lokal dan bagaimana figur-figur penting kemudian beraktivitas, maka menjadi penting pula untuk melihat bagaimana relasi internal tentang kemuhammadiyahan ini tumbuh di dalam diri keluarga/warga Muhammadiyah,” terang Mutiah.
Mengenai potensi pengembangan penulisan family history, beberapa data yang bisa digunakan di antaranya: data pengembangan cabang, perkembangan pendidikan, dan ideologi keluarga. Sementara terkait dengan sumber lain yang dapat digunakan adalah dokumen, foto, surat kabar/majalah, wawancara, undangan rapat, poster, catatan rapat, catatan harian, dan sebagainya.
“Family history dimulai dari proses menjadi Muhammadiyah. Kita bisa memulai dari hal-hal yang sifatnya publik. Bagaimana mereka menyampaikan ucapan-ucapan syukur, identitas mereka, dan bagaimana menjadi Muhammadiyah itu tumbuh. Karena komunitas itu membentuk pribadi-pribadi di dalam keluarga. Dan itu bisa dimulai dari hal-hal yang sifatnya sederhana,” kata Mutiah.