MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Abu Hamid Al Ghazali (1111/505) sama sekali tidak menyinggung soal Perang Salib dalam karya-karyanya. Bahkan dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din sebagai magnum opus Hujjatul Islam, ia tidak menulis satu bab tersendiri tentang jihad. Padahal, Al Ghazali sempat berkunjung ke Damaskus, bahkan singgah Masjidil Aqsha di Yerussalem, tetapi mengapa ia tidak menyebut Perang Salib dalam tulisan-tulisannya?
Menurut Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat Rofiq Muzakkir, jawaban atas pertanyaan itu terdapat dua alasan: pertama, alasan kronologis. Saat Al Ghazali mengembara dari Baghdad menuju Syam pada tahun 1095-1096/488-490, kota Damaskus dan Yerussalem belum kedatangan tentara Salib, sehingga dua kota tersebut masih dikuasai umat Islam. Dua tahun setelah Al Ghazali kembali ke Baghdad dan Khurasan yakni pada tahun 1098/491, pasukan Salib merebut Yerussalem lewat jalur Antiokhia.
“Jadi, Al Ghazali tidak menjumpai Perang Salib ketika tinggal di Syam. Pada saat terjadi peristiwa jatuhnya Antiokhia ke tangan Faranj atau orang-orang Eropa, ia sudah kembali ke Baghdad dan Khurasan,” ucap Rofiq dalam kajian tentang Al Ghazali yang diselenggarakan PCIM Amerika Serikat dan Center for Integrative Science and Islamic Civilization (CISIC) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) pada Sabtu (03/08).
Latar kronologis ini juga turut menjelaskan mengapa kitab Ihya ‘Ulum al-Din karya Al Ghazali tidak memuat bahasan tentang Perang Salib. Sebab, sebelum Perang Salib tahap pertama meletus di wilayah Syam pada tahun 1096/490, kitab Ihya telah selesai ditulis. Kitab ini ditulis saat Al Ghazali mengembara dari Baghdad ke Damaskus, sehingga terbitnya kitab Ihya sebelum pasukan Salib menyerbu wilayah Islam di negeri Syam.
Pada tahun 1096/490 atau beberapa bulan sebelum pasukan Salib memasuki wilayah Syam, Al Ghazali kembali ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Selama enam bulan mengajar, ia memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Thus, Khurasan sebagai seorang sufi. Pada masa ini Al Ghazali menulis beberapa kitab seperti Misykat al-Anwar, al Mustashfa min Ilmi al-Ushul, Al Tibr al Masbuk fi Nasihah al Muluk, dan Al Munqidz min al-Dhalal. Meski deretan kitab karya Al Ghazali ini ditulis setelah Yerussalem dikuasai orang-orang Eropa, namun ia tetap tidak memasukkan bahasan yang menyinggung soal Perang Salib. Mengapa?
Menurut Rofiq, tantangan al-Ghazali juga tidak kalah serius, yaitu adanya gangguan stabilitas keamanan dari dalam negeri yang dilakukan oleh golongan Bathiniyyah. Kelompok yang disinyalir berdiri di belakang Penguasa Fathimiyah ini pengaruhnya amat kuat di kawasan sekitar Baghdad dan Khurasan. Mereka berusaha melemahkan bahkan menghancurkan Abbasiyah yang menganut paham sunni. Karena itu dapat dikatakan, isu besar yang sedang dihadapi al-Ghazali itu bukan pasukan Salib, melainkan propaganda Fatimiyah. Makanya wajar konsentrasi Al Ghazali terpecah sehingga tidak begitu memperhatikan meletusnya Perang Salib di beberapa wilayah Islam.
“Al Ghazali juga melihat tantangan lain yang juga serius, yaitu dari Dinasti Fathimiyah yang berpaham Syiah Ismailiyah di Mesir. Mereka melakukan teror hingga beberapa Sultan terbunuh seperti Fakhr al Mulk,” terang Rofiq.
Selain alasan kronologis, Rofiq juga mengajukan alasan epistemologis mengapa karya-karya Al Ghazali luput dari bahasan soal Perang Salib. Menurutnya, bagi Al Ghazali akar masalah dunia Islam itu bukan politik melainkan epistemologi. Makanya ia banyak sekali menelurkan kitab dari akhlak, tasawuf, politik, filsafat, hingga usul fikih. Karya-karyanya itu disiapkan untuk melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim yang pada saat itu banyak mengalami degradasi.
Sebagai seorang intelektual sekaligus pemuka agama, Al Ghazali memikul tanggungjawab meluruskan akidah dan cara berpikir umat Islam. Kritik-kritiknya yang keras terhadap sejumlah aliran pemikiran juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah yang sedang dihadapi umat Islam. Sehingga menyelesaikan masalah keumatan tidak begitu saja dapat diselesaikan melalui jalur politik, tapi juga harus dilalui dengan solusi yang lebih mendasar yaitu reformasi intelektual dan moral.
“Al Ghazali mungkin berpandangan yaa bagi-bagi tugas. Sebagai intelektual, ia punya tanggungjawab memberi tahu cara berpikir umat. Sebagai penguasa, mereka punya tanggungjawab untuk melawan dan mengangkat senjata,” terang alumni Arizona State University ini.
Foto : Lukisan karya Charles Philippe Larivière dari Wikipedia