MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Peneliti Senior LIPI Ahmad Nadjib Burhani memandang bahwa konsep sosiologis Islam menurut NU dan Muhammadiyah tidak patut dipertentangkan karena keduanya saling melengkapi dan diniatkan untuk kemaslahatan Islam.
Dalam dialog bertema Keberagaman Islam Nusantara di 164 Channel Nahdlatul Ulama, Kamis (25/2) dirinya menjelaskan bahwa konsep Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan lahir karena keresahan dua organisasi besar ini terhadap konsep peradaban Islam yang cenderung mandek, bahkan kalah oleh peradaban agama lain.
“Kita perlu menguatkan identitas kita sebagai bangsa, sebagai Islam di Nusantara, tapi tidak cukup dengan itu. Makanya kemudian Islam Berkemajuan, karena Islam Berkemajuan itu adalah didefinitkan sebagai Islam yang merukunkan, bahwa kita merupakan wakil dunia yang harus berkontribusi terhadap peradaban dunia dan sharing dengan berbagai manusia di berbagai tempat,” urainya.
Karena itu, dirinya memandang bahwa konsep Islam Nusantara tidak bisa berdiri sendiri karena tanpa dilengkapi dengan Islam Berkemajuan, konsep itu akan menjadikan orang berpemikiran sempit (ashobiyah). Demikian juga sebaliknya.
“Kalau misalnya kita hanya berpijak pada satu tempat tanpa memiliki wawasan yang kosmopolitan, yang berkemajuan, itu kadangkala menjebak orang-orang tertentu untuk berpikir xenophobic, anti terhadap mereka yang dari luar dan sebagainya,” jelas Nadjib.
Gagasan dua konsep Keislaman ini menurut Wakil Ketua Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah itu berusaha menghadirkan rumusan alternatif Islam dalam berpolitik, cara beragama hingga wajah akomodatif saat berhadapan dengan kebudayaan.
“Oleh karena itu dimensi tempat harus dibuka dengan sesuatu yang berbeda. Dimensi ide atau gagasan, karena itu kita perlu menjadi satu kombinasi antara Islam Nusantara dan Islam Berkemajuan,” pungkasnya.