MUHAMMADIYAH.OR.ID, PRANCIS — Lyon adalah kota berumur dua ribu tahun. Terletak di titik pertemuan sungai Rhone dan Saone. Kota ini merupakan salah satu yang terbesar dan jadi pusat area metropolitan di Prancis. Jalanan Lyon disesaki bangunan bersejarah yang menawan. Sebagai arketipe kota warisan yang telah diakui UNESCO, siapa pun yang punya kesempatan berkunjung ke sana akan menikmati kekayaan budayanya dan menikmati prospek gastronominya.
Selain itu, di kota Lyon komunitas muslim menjadi bagian yang tak terpisahkan. Pada umumnya, muslim di Lyon berasal dari keturunan negara-negara bekas koloni Prancis seperti Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Selain para imigran yang umumnya berasal dari Afrika Utara, banyak juga mahasiswa muslim yang menempuh pendidikan di sana, salah satunya mahasiswa asal Indonesia dan kader Muhammadiyah yaitu Muhammad Fahri Kholid.
Kader Muhammadiyah di Lyon
Muhammad Fahri Kholid merupakan mahasiswa yang sedang menempuh sarjana di Language Etranger Applique, International Relation, Université Lumiére Lyon 2. Merantau nun jauh ke negeri Napoleon karena terinspirasi oleh perkataan Imam Syafi’I, “bepergianlah (mencari ilmu) maka kau akan mendapatkan kemuliaan dan teman-teman yang mulia”. Baginya, merantau adalah cara untuk belajar memahami dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar.
Salah satu pengalaman yang berkesan bagi Fahri adalah puasa di bulan Ramadan. Dirinya merasa beruntung dapat sensasi puasa yang luarbiasa lantaran secara diametral berbeda dengan Indonesia. Di tahun-tahun pertama Fahri harus merasakan puasa tepat di musim panas. Meski pada musim ini semua orang besuka cita karena datangnya waktu liburan, namun cuaca biasa sampai 35-40 derajat dan jarak dari terbit fajar hingga matahari tenggelam sekitar 15 jam. Bertahan menahan lapar dan dahaga di musim panas hingga 15 jam tentu saja membutuhkan energi yang prima dan keyakinan yang optimal.
Beruntung Fahri memiliki teman asal Indonesia yang sama-sama tinggal di kota Lyon. Sebagai sesama warga rantau, hubungan antar individu menjadi sangat kuat dan saling peduli. Jauhnya kampung halaman membuat mereka senasib-sepenanggungan yang mengikatkan tali persaudaraan walau berbeda darah. Kadang pula saling menyemangati sesiapa yang mulai frustasi tinggal di Prancis. Termasuk dalam puasa, Fahri mampu menjalaninya walau harus sampai 15 jam, lantaran adanya kekeluargaan antar warga Indonesia yang menjadi pelipur rindu akan kampung halaman.
Takjilan di Prancis
Bukan hanya saling menyemangati satu sama lain, Fahri juga menuturkan bahwa ibu-ibu Indonesia yang tinggal di sana sering membagi kudapan pembuka puasa. Apalagi bila mengadakan pengajian jelang buka bersama, selain memperdalam pengetahuan agama serta memperkuat tali persaudaraan sesama warga negara, juga membayar tuntas rasa lapar dan frustasi yang bertahan selama 15 jam. Kehangatan, kepedulian, dan kudapan membuat Fahri menjalani hari-hari Ramadan di Prancis serasa di negeri sendiri.
Selain sesama warga Indonesia, Fahri juga berteman baik dengan penduduk lokal terutama teman sekampusnya. Ia pernah menghadiri pesta kampus saat puasa. Mengetahui Fahri sedang puasa, teman-temannya menghormati dengan rela menunggu hingga waktu petang tiba. Setelah matahari terbenam, baru mereka makan-makan dan minum-minum. Bahkan Fahri menuturkan di banyak tempat di Prancis, banyak relawan kemanusiaan yang membagikan takjil. Baginya secara umum, tak ada diskriminasi yang dilakukan warga Prancis terhadap muslim yang berpuasa.
Salat Tarawih
Termasuk dengan kebijakan pemerintah Prancis, mereka tidak memiliki aturan khusus soal ibadah puasa di bulan Ramadan. Namun adakalanya ketika salat tarawih di beberapa titik masjid dijaga aparat keamanan demi ketertiban umum dan menghindari ancaman dari kelompok-kelompok islamofobik. Kelompok islamofobik ini kadang melakukan aksi vandalisme, sebagaimana yang telah terjadi di Pusat Budaya Islam di kota Rennes beberapa waktu yang lalu. Dengan cepat pemerintah Prancis mengecam aksi tersebut sebagai ‘serangan yang menjijikkan’.
Terkait dengan budaya Ramadan muslim Prancis, terutama di kota Lyon, Fahri menuturkan tidak terlalu signifikan karena populasinya yang minoritas. Akan tetapi dalam kondisi normal sebelum pandemi, biasanya terdapat toko-toko yang buka saat sore hari menjajakan berbagai makanan siap santap dari Tunisia, Aljazair, dan Maroko. Akan tetapi setelah pandemi menyarang negara Zinedine Zidane tersebut, berbagai teatrikal keagamaan dilakukan di kediaman masing-masing seperti salat tarawih, salat Jumat, dan pengajian.
Sementara itu, Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Prancis yang berdiri tahun 2007, dalam kondisi normal sering mengadakan pengajian, diskusi, dan buka bersama. Namun, kata Fahri, Ramadan sekarang ini berada di tengah-tengah suasana confinement, suatu pembatasan sosial dalam skala besar yang diberlakukan di Prancis sejak 17 Maret 2020. Sejak confinement, pergerakan manusia dibatasi hanya untuk kegiatan yang bersifat esensial, dengan tetap memperhatikan jarak. Public gatherings atau orang berkumpul dalam jumlah besar pun dilarang, termasuk salat jumat dan salat tarawih. (Ilham Ibrahim)
Editor: Fauzan AS