MUHAMMADIYAH.OR.ID, MALANG– Menurut Moeslim Abdurrahman, Antropolog asal Indonesia sekaligus aktivis Persyarikatan Muhammadiyah menyebut bahwa, KH. Ahmad Dahlan adalah “nabi sosial” yang lahir dan berbuat untuk perubahan lebih di masyarakat.
Pernyataan itu dikutip oleh intelektual muda Muhammadiyah, Pradana Boy. Ia menjelaskan, nabi sosial ini beda dengan nabi theologis. Karena yang dimaksud nabi sosial adalah orang-orang yang tidak hanya memiliki kecerdasan intelektual, tapi juga kecerdasan sosial. Serta memiliki kecerdasan dialektis membaca realitas masyarakat.
Lebih jauh ia menjelaskan, di Indonesia sulit menemukan sosok seperti Kiai Ahmad Dahlan. Penyematan sebagai nabi sosial kepada Kiai Dahlan oleh Kang Muslim, kata Boy, karena Kiai Dahlan menemukan kunci persoalan di masyarakat. Kunci tersebut adalah Tahayul, Bidah Churafat (TBC).
Kemampuan Kiai Dahlan dalam menemukan kunci tersebut akibat dari kemampuan yang dimiliki Kiai dalam membaca tanda-tanda zaman. Menurut Pradana Boy, alat untuk membantu Kiai Dahlan dalam membaca tanda-tanda zaman ini adalah intelektualisme.
“Kang Muslim lalu kemudian memberi doktrin kepada kami yang beliau sebut dengan Kembali ke Al Qur’an Menafsir Makna Zaman. Jadi kalau kita ini kembali kepada Al Qur’an, membaca Al Qur’an itu tidak semata-mata menyelami makna Al Qur’an secara harfiah,” kenang Boy pada (19/7) dalam Siaran YouTubenya
Bagi seorang muslim ketika membaca Al Qur’an tidak semata-mata memahami hanya sebagai teks keagamaan, tapi lebih dari itu dengan menjadikan Al Qur’an sebagai basis, petunjuk, atau paradigma untuk membaca tanda-tanda zaman. Menurutnya, dengan berinteraksi dan menjadikan Al Qur’an sebagai teman dialog akan menemukan banyak inspirasi.
“Ini kelihatannya seperti mistis dan spiritualis, tetapi maknanya bahwa Al Qur’an ini kita jadikan sebagai pijakan atau paradigma untuk membaca tanda-tanda zaman,” tuturnya
Intelektualisme seperti itu yang menjadikan Kiai Dahlan dengan bekal Surat Al Ma’un mampu mendobrak kejumudan zaman dengan mendirikan unit-unit kerja sosial yang tetap eksis sampai sekarang. Karena itu, mubaligh Muhammadiyah diharapkan dalam membaca realitas masyarakat harus dibaca dengan pendekatan qur’ani secara dialektis.
Hits: 1