MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Memasuki tahun 1940, kondisi politik, sosial dan ekonomi Indonesia mengalami ketidakstabilan. Beberapa agenda Persyarikatan pun terimbas dan dibatalkan. Salah satunya adalah perhelatan Muktamar ke-30, tahun 1941 di Purworejo karena alasan keamanan.
Keadaan ini terus berlangsung hingga satu dekade. Meski sempat mengadakan dua Muktamar Darurat pada 1944 dan 1946, hampir satu dekade tokoh-tokoh teras Muhammadiyah dan perwakilan Persyarikatan dari seluruh Indonesia tidak bersua dalam satu forum resmi.
Keadaan bangsa perlahan mulai pulih pasca Perjanjian Roem-Royen yang menandai awal kedaulatan penuh bangsa Indonesia. Meskipun begitu, kondisi perpolitikan nasional juga terus mengalami pergolakan.
Di tengah keadaan yang demikian, kondisi umat dipastikan ikut terimbas dan membutuhkan bimbingan. Setelah berhasil menggelar kembali dua Muktamar secara sukses pada 1950 dan 1953, Muhammadiyah melalui Muktamar ke-33 di Palembang tahun 1956 mulai menata kembali kehidupan umat dengan Khittah Palembang.
Tujuh Butir Khittah Palembang
Di dalam tradisi organisatoris Muhammadiyah, Khittah sederhananya dikenal sebagai garis besar atau jalan perjuangan yang berisi seperangkat rumusan, teori, metode, sistem, strategi, dan taktik perjuangan Muhammadiyah. Khittah biasanya dihasilkan berdasar gelaran Tanwir dan Muktamar.
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-33 di Palembang tahun 1956, lahir Khittah Palembang yang berlaku pada periode kepemimpinan Ketua Umum terpilih tahun 1956-1959, yaitu Buya AR Sutan Mansur.
Butir-butir Khittah Pelembang antara lain:
1. Menjiwai pribadi para anggota, utamanya para pimpinan Muhammadiyah (dengan memperdalam dan mempertebal tauhid)
2. Menjalankan uswatun hasanah
3. Mengutuhkan organisasi dan merapikan administrasi
4. Memperbanyak dan mempertinggi mutu amal
5. Mempertinggi mutu anggota serta membentuk kader
6. Mempererat ukhuwah
7. Menuntun penghidupan anggota.
Siti Nur Aidah dalam Mengenal Tokoh-tokoh Muhammadiyah (2021) menulis dalam Khittah itu juga ditekankan agar warga Persyarikatan menyempurnakan ibadah dengan khusyuk dan tawaduk, mempertinggi akhlak, memperluas ilmu pengetahuan, dan menggerakkan Muhammadiyah dengan penuh keyakinan dan rasa tanggungjawab. Termasuk mengadakan badan islah untuk mengantisipasi bila terjadi keretakan dan perselisihan di antara warga Muhammadiyah.
Cara Sutan Mansur Mengembalikan Ruh Bermuhammadiyah
Di samping Khittah Palembang, Ketua Umum PP Muhammadiyah, AR Sutan Mansur turut memiliki metode untuk menghidupkan ruh Bermuhammadiyah warga Persyarikatan. Mengingat kondisi nasional yang kian tidak stabil di masa itu.
Antara tahun 1950 ke atas, banyak pergolakan di daerah-daerah yang muncul akibat kebijakan ekonomi dan pembangunan yang dianggap tidak merata dan Jawa-sentris, serta ketidaktegasan pemerintah terhadap aktor-aktor penyebab konflik sosial.
Sebagai akibatnya, pada 1957 muncul pergolakan semisal Permesta di Sulawesi hingga proklamasi Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang membuat pemerintah mengeluarkan Keputusan No.40 tahun 1957 untuk menyatakan negara dalam keadaan bahaya.
Agar warga Muhammadiyah tetap fokus dalam menjaga amanah Kiai Dahlan merawat Persyarikatan, metode yang disampaikan AR Sutan Mansur antara lain adalah menumbuhkan rasa khasyah (takut) kepada Allah dengan meluangkan waktu, amanah, menanamkan jiwa tauhid dan mengamalkannya.
Selain itu, AR Sutan Mansur juga menganjurkan warga Persyarikatan mengusahakan buq’ah mubarokah (tempat yang diberkati) di rumah masing-masing dengan menjalankan salat jamah pada awal waktu, mendidik anak-anak beribadah dan mengaji alquran, mengaji alquran hanya untuk berharap rahmat Allah, melatih puasa senin kamis dan puasa ayyamul bidh (3 hari pertengahan bulan), dan menghidupkan takwa.
Di samping itu, beliau juga agar pegiat Persyarikatan mengupayakan kontak yang lebih luas antara pemimpin, anggota di semua tingkatan dan banyak menyelenggarakan konferensi kerja di antara majelis dengan cabang atau ranting.
Penulis: Afandi
Editor: Fauzan AS
Hits: 10307