MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir menyebut bahwa tradisi ilmu merupakan perwujudan wahyu pertama yang diterima Nabi Saw. Iqra pada wahyu pertama adalah untuk membangun peradaban. Iqra menurut para mufasir bukan hanya membaca secara verbal dan tekstual, tetapi berbagai aktivitas akal pikiran dan kajian keilmuan yang menghadirkan aspek ilahiyah.
Karenanya, dalam melakukan inovasi, pengembangan teknologi dan inovasi, mesti memiliki landasan Islam Berkemajuan sebagai basis etika, moral, dan spiritual. Sebab bila tanpa ditunjang dengan nilai-nilai spiritual, teknologi yang dihasilkan akan menjauhkan manusia dari agama atau bahkan mengubah manusia tampak seperti robot.
“Bagaimana menghadirkan nilai-nilai ilahiyah dalam hidup kesemestaan. Value kita adalah Islam Berkemajuan, memahami Islam dengan bayani, burhani, irfani. Agama harus menjadi tempat untuk membingkai kemajuan nalar,” ucap Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini dalam acara Sidang Senat Terbuka Universitas Ahmad Dahlan dan Upacara Milad ke-62 pada Kamis (22/12).
Selain itu, dalam mengembangkan inovasi dan teknologi, diperlukan model kepemimpinan transformatif atau kepemimpinan yang berorientasi pada perubahan. Haedar tidak ingin kampus-kampus Muhammadiyah dipimpin oleh kepemimpinan panggung, yang hanya piawai beretorika namun kebingungan tatkala eksekusi di lapangan.
“Kepemimpinan panggung itu kan elok untuk dilihat, didengar, mengharu-biru, tapi setelah turun dari panggung, what next? Di Muhammadiyah kepemimpinannya itu transformatif-sistemik, bukan figur orang,” tutur Haedar.
Kepemimpinan transformatif berarti memiliki aspek kreatif yang berorientasi ke depan. Bagaimana nasib Muhammadiyah 50 tahun ke depan, mesti diproyeksikan. Menurut Haedar, proyeksi masa depan tetap harus berorientasi ukhrawi. Betapapun kehidupan ini maju di segala bidang, semua manusia akan kembali pada-Nya. Karena itulah, menanamkan nilai-nilai ketuhanan harus menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia.
“Hidup pasca-kematian harus menjadi setting utama dalam hidup umat manusia yang beragama. Maka kehadiran Allah Swt itu jangan formalisme, hanya ritualistik, tetapi menjadikan nilai-nilai ilahi itu sebagai penguat dasar hidup,” tutur Haedar.