MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Islam sebagai tradisi diskursif merupakan konsep yang diajukan seorang antropolog yang bernama Talal Asad. Konsepsi ini berangkat dari kelemahan-kelemahan pendekatan kajian antropologi Islam yang berkembang di kampus-kampus Barat. Menurut Muhamad Rofiq Muzakkir, Islam sebagai tradisi diskursif merupakan cara untuk melihat peran penalaran khas umat Islam.
“Islam sebagai tradisi diskursif merupakan istilah teknis dalam antropologi agama, khususnya antropologi Islam yang diperkenalkan oleh seorang antropolog yaitu Talal Asad. Islam sebagai tradisi diskursif dapat bermakna bagaimana cara muslim bernalar,” tutur Rofiq dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (14/12).
Menurut Rofiq, cara muslim bernalar selalu berpijak pada otentisitas Al Quran dan Hadis. Hal tersebut lantaran Islam memerintahkan pemeluknya untuk selalu mencari bentuk beragama yang benar. Di mana pun dan kapan pun, praktek keseharian seorang muslim harus berpijak pada dua sumber Islam ini. Sebab Al Quran dan Hadis berperan sebagai legitimator paling valid dalam melakukan praktek-praktek beragama.
Selain pada Al Quran dan Hadis, ujar Rofiq, penalaran seorang muslim juga berpijak pada tradisi intelektual masa lalu yang termaktub dalam kitab-kitab turats. Sebuah pemikiran atau praktek beragama akan dianggap otoritatif dan otentik bila telah menjadi praktek keseharian masyarakat generasi terdahulu. Dengan kata lain, seluruh aktivitas seorang muslim baik pemikiran, wacana, dan praktek keagamaan mesti memiliki jangkar tradisi intelektual di masa lampau.
“Pemikiran kita, praktek keseharian kita, itu didasarkan kepada pengalaman-pengalaman dan pikiran-pikiran yang relevan dari masa lalu. Jadi sebenarnya, Islam sebagai tradisi diskursif itu adalah penalaran yang berbasis pada sejarah intelektual masa lalu yang relevan dengan konteks hari ini,” terang Rofiq.
Meski berpijak pada masa lalu, Rofiq menegaskan bahwa Islam sebagai tradisi diskursif dapat menjadi cara pandang seorang muslim ketika dihadapkan dengan persoalan-persoalan kontemporer. Ketiadaan turats dalam pemikiran, wacana, dan praktek beragama seorang muslim akan menyebabkan keterputusan epistemologi. Karenanya, turats merupakan unsur yang sangat penting sebagai jembatan epistemik untuk menghubungkan antara diskursif masa lalu dan masa depan.
“Sekali pun dengan sesuatu (persoalan) yang baru kita bisa mengisinya dengan perspektif turats. Jadi ada sesuatu yang bisa kita ambil, jadikan pedoman, jadikan sebagai tempat kita berkaca. Walau pun tidak semua dari masa lalu kita ambil, kita perlu metodologi untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian,” kata Rofiq.