MUHAMMADIYAH.OR.ID, ARIZONA—Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika Serikat menggelar kajian bedah kitab turats. Kitab yang dikaji adalah Al Munqidz min Al Dhalal karya Abu Hamid Al Ghazali.
Dalam pertemuan pertama pada Sabtu (27/08), Muhamad Rofiq Muzakkir terlebih dahulu membahas latar sosial-politik saat Al Ghazali hidup. Bahasan ini penting didahulukan agar dapat melihat lanskap pandangan Sang Imam secara utuh lengkap dengan konteks spasial yang melingkupinya.
Al-Ghazaki dan Kekhalifahan Islam
Menurut Rofiq, pada abad ke-9 Masehi terdapat tiga klaim kekhalifahan besar dalam sejarah Islam, yaitu: Umayyah II di Andalusia, Fatimiyyah di Mesir, dan Abbasiyah di Irak.
Al Ghazali yang lahir pada tahun 1058 Masehi menetap dan menghabiskan kesehariannya di wilayah Abbasiyah, tepatnya di Khurasan. Sebagai kerajaan yang berbasis sunni, Hujjatul Islam sering berbalas argumen lewat tulisan dengan orang-orang Syiah yang berpusat di Fatimiyyah.
“Jadi dalam sejarah Islam, kita pernah memiliki tiga institusi kekhalifahan. Dua berbasis sunni yaitu Umayyah II dan Abbasiyah, sementara Fatimiyyah berbasis Syiah. Al Ghazali menulis buku untuk merespon pandangan-pandangan intelektual dan politik dari dinasti Fatimiyyah,” ucap Rofiq.
Pada masa Al-Ghazali hidup, Khurasan merupakan provinsi di daratan Persia yang berada di bawah kekuasaan Dinasti Saljuq. Wilayah ini banyak melahirkan para ahli di berbagai bidang seperti filafat, teologi, hukum, hadis, tafsir, dan bahasa. Para pemikir yang lahir dari provinsi ini—selain Al Ghazali—Nizam Al Mulk, Al Juwaini, Al Baqillani, Ibnu Furak, Al Baihaqi, Al Khazin, Abu Ubayd al Qasim, dan lain sebagainya.
Rofiq mengungkapkan alasan mengapa tempat-tempat di Khurasan seperti Naisabur, Samarkand, Bukhara, Ghazni, Merv, Khiva dan kota penting lainnya menjadi pusat berkembangnya kebudayaan dan tradisi intelektual.
Bukan hanya mendapat patronase dari penguasa untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, namun juga karena letak Khurasan dilalui jalur sutra yang menghubungkan perdagangan Timur dan Barat. Dengan adanya jalur sutra ini, selain memainkan peran sentral dalam transfer barang dan jasa, tapi juga pertukaran ide dan budaya antar peradaban.
Konflik Politik dan Kemerosotan di Dinasti Islam
Pada abad ke-9 Masehi terjadi dua fenomena di Abbasiyah, yaitu disintegrasi wilayah dan erosi pengaruh Khalifah. Disintegrasi Abbasiyah adalah munculnya dinasti-dinasti kecil akibat dari adanya perebutan pengaruh kekuasaan antara bangsa Persia-Turki dan konflik Sunni-Syiah di wilayah timur Baghdad.
Persaingan itu menimbulkan penurunan kharisma istana, dan kemerosotan mekanisme politik dan administrasi. Dengan kata lain, situasi ini melahirkan kekuasaan independen dan seakan terputus dari pusat kerajaan Abbasiyah.
Lahirnya dinasti-dinasti kecil yang dipimpin Amir atau Sultan (jabatan setingkat gubernur di bawah Khalifah) ini secara bergantian menguasai Khurasan. Dinasti tersebut antara lain Tahirid (821-873), Saffarid (861-1003), Samanid (874-999), Ghaznavid (976-1186), Buwaihiyyah (945-1055), Saljuq (1037-1194). Al Ghazali sendiri hidup di bawah patronase dari Dinasti Saljuq.
Selain itu, munculnya dinasti-dinasti kecil ini menyebabkan jatuhnya pengaruh Khalifah. Hal tersebut terjadi karena secara tidak langsung kemunculan dinasti kecil ini melahirkan struktur hirarkis yang menempatkan Khalifah di posisi paling tinggi, di bawahnya Sultan Muazzam atau Amir al-Umara (tokoh militer), kemudian ada Wazir (Perdana Menteri), dan di paling bawahnya lagi para Amir/Wali/Sultan (Gubernur).
Menurut Rofiq, meskipun Khalifah ditempatkan di posisi paling atas, namun ia tidak memiliki pengaruh politik apapun. Khalifah tidak lain hanya simbol semata, sementara penguasa politik yang sesungguhnya dipegang oleh Sultan Muazzam dan Wazir. Dalam mekanisme politiknya, Sultan Muazzam dapat menurunkan serta menaikkan Khalifah sesuka hati. Bahkan dalam beberapa kejadian, hal tersebut pernah dilakukan oleh Wazir.
Al-Ghazali dan Politik Mahzab
Al Ghazali hidup di bawah tiga Khalifah yaitu Al Qaim bii Amrillah, Al Muqtadi, dan Al Mustazhir. Pada masa Al Mustazhir, ia pernah menulis kitab berjudul Fadhaih al-Bathiniyyah wa Fadhail al-Mustazhiriyyah (kebobrokan aliran Bathiniyah dan keutamaan Khalifah al-Mustazhir).
Kitab tersebut ditulis sebagai pembelaan intelektualnya terhadap Khalifah Al Mustazhir yang dianggap kurang legitimate oleh kalangan Syiah karena usianya baru 17 tahun.
Sementara itu, ada tujuh Sultan Muazzam yang saling bergantian di masa Al Ghazali, di antaranya: Tughril Bek, Alp Arslan, Muhammad Malik Shah, Mahmud bin Malik Shah, Barkiyaquk bin Malik Shah, Malik Shah, dan Muhammad Tapar. Sedangkan posisi Wazir di era Al Ghazali, yaitu: Al Kunduri, Nizam al-Mulk, dan Fakhr al Mulk.
Para penguasa politik ini terutama setelah era Sultan Muazzam Tughril Bek membawa paham keagamaan: untuk fikih mengikuti Mazhab Syafii dan urusan kalam mengikuti Mazhab Asy’ariyah.
“Selama periode Tughril Bek, terjadi persekusi terhadap ulama Syafii dan Asy’ari. Al Juwayni, guru Al Ghazali, harus mengungsi dari Nishapur. Mazhab Syafii dan Asyari berkembang setelah Sultan Muazzam dipegang oleh Alp Arslan,” terang lulusan Arizona State University ini.
Penulis: Ilham Ibrahim
Editor: Fauzan AS
Hits: 660