MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Salafus shalih ialah para pendahulu yang saleh. Ini adalah sebutan bagi generasi Islam yang ada pada awal Islam hingga kurang lebih abad keempat atau kelima Hijriyah, seperti para sahabat, tabi’in, dan tabi’it tabi’in dan dua atau tiga generasi setelah mereka.
Salafus shalih itu, karena dekatnya zaman mereka dengan zaman Nabi Muhammad saw, maka mereka mempunyai pemahaman agama yang lebih baik daripada para generasi setelah mereka. Apalagi para sahabat, mereka ini bergaul dengan Nabi Muhammad saw dalam senang dan susah, dalam keadaan damai dan perang, dalam semua situasi dan kondisi. Mereka bersama beliau ketika ayat-ayat al-Quran turun, mereka mengetahui secara langsung penjelasan-penjelasan Nabi saw tentang ayat-ayat yang turun tersebut dan tentang hal-hal yang mereka belum ketahui.
Namun pertanyaannya ialah, adakah pemahaman mereka itu mengikat kita atau tidak? Pemahaman salafus shalih – terutama para sahabat— itu dipersilisihkan para ulama. Sebagian mereka menganggapnya sebagai hujjah syar’iyah (dalil agama) yang harus diambil jika dalam suatu masalah tidak ada dalil dari al-Quran, hadis dan ijma’. Dan jika pemahaman atau pendapat para sahabat itu berbeda antara satu dengan yang lainnya, maka harus dipilih salah satu. Argumentasi mereka ialah, bahwa kemungkinan pendapat mereka itu benar sangat besar, dan kemungkinan pemahaman mereka itu salah sangat kecil.
Ini karena mereka menyaksikan turunnya al-Qur’an dan mengetahui hikmah pensyariatan serta sebab-sebab turunnya al-Qur’an. Mereka juga menemani Nabi saw dalam jangka waktu yang panjang, sehingga hal itu membuat mereka paham dan mengerti syariat. Ini semua membuat pemahaman dan pendapat mereka mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibanding dengan pemahaman dan pendapat selain mereka.
Sementara sebagian ulama lain berpendapat bahwa pemahaman dan pendapat para sahabat itu bukan hujjah syar’iah, sehingga kita tidak wajib mengambilnya. Argumentasinya ialah yang wajib diikuti dan diambil ialah al-Quran dan hadis. Sementara pendapat dan pemahaman sahabat bukan termasuk di dalamnya. Pendapat akal itu mungkin benar mungkin salah. Dalam hal ini, tidak ada beda antara para sahabat dan selain mereka, meskipun kemungkinan salah dari mereka itu kecil sekali.
Adapun Muhammadiyah, khusus mengenai pendapat yang berasal dari generasi sahabat dan tabi’in, telah memiliki beberapa ketentuan yang terdapat dalam Himpunan Putusan Tarjih, Kitab Beberapa Masalah, Butir 21 tentang Usul Fiqih, halaman 300, yang menyebutkan di antaranya sebagai berikut: 1) Hadis mursal Tabi‘i murni tidak dapat dijadikan hujjah; 2) Hadis mursal Tabi‘i dapat dijadikan hujjah apabila besertanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya; 3) Hadis mursal Shahabi dapat dijadikan hujjah apabila padanya terdapat karinah yang menunjukkan kebersambungannya.
Dari pendapat para ulama tersebut di atas dan kaidah tentang hadis dalam HPT, dapatlah diketahui bahwa pemahaman dan pendapat para sahabat dan tabi’in itu bukan dalil yang mengikat, tetapi tidak ada halangan untuk diamalkan sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an maupun as-Sunnah serta memenuhi kriteria-kriteria yang telah disebutkan di atas. Dan dalam masalah tersebut tidak ada dalil lain yang lebih muktabar (diakui).
Jadi, sebagai kesimpulan dapatlah dipahami bahwa mengikuti pendapat atau amalan para salafus shalih pada dasarnya tidak dilarang, sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan as-Sunnah serta sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam HPT di atas. Wallahu a’lam bish shawab!