H.M. RASJIDI, Mendebat Sekularisme dan Liberalisme
Sosok yang paling kentara dari H.M. Rasjidi adalah keteguhannya tampil di dunia akademik dalam melawan paham sekularisme dan liberalisme, terutama saat berkonfrontasi menentang gagasan Harun Nasution dan Nurcholis Madjid.
Tidak cukup menuduh mereka sebagai agen orientalis, pembangkit paham Mu’tazilah dan sembarangan memakai istilah ‘sekularisme’, H.M. Rasjidi menulis bantahan secara serius dan akademik lewat bukunya yang berjudul Koreksi Terhadap Drs. Nurcholis Madjid Tentang Sekularisasi (1977) dan Koreksi Terhadap Dr. Harun Nasution Tentang Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya (1983).
Salah Paham terhadap H.M. Rasjidi
Hal yang paling disayangkan dari sikap konfrontatif H.M. Rasjidi, barangkali adalah penggunaan argumen-argumen ilmiah dan bernas H.M. Rasjidi yang digunakan secara urakan dan tidak bertanggungjawab oleh kelompok Islam populis dan tekstualis dalam menentang paham Sekularisme dan Liberalisme.
Sikap konfrontatif H.M. Rasjidi secara ideologis di dunia akademik tak lepas dari masa kecilnya yang berasal dari keluarga Kejawen kental dan pengembaraan akademiknya sebagai mahasiswa filsafat di berbagai universitas paling bergengsi dunia seperti Al-Azhar dan Universitas Kairo Mesir, Universitas Sorbonne Perancis, dan pengajar di universitas bergengsi McGill Kanada.
Azra dalam History of Islam in Indonesia: Unity in Diversity yang ditulis oleh Carool Kersten (2017) menyebut pergaulan H.M. Rasjidi dengan tokoh Ikhwanul Muslimin Sayyid Qutb selama di Al Azhar mempengaruhi corak revivalisnya.
Selama di Mesir pada 1931-1938, H.M. Rasjidi memang aktif berkenalan dengan berbagai tokoh dan pemikiran. Selain Sayyid Qutb, H.M. Rasjidi juga rajin bertukar pikiran dengan murid Muhammad Abduh yakni Mustapha Abdul Raziq yang kemudian menjadi rektor universitas tempatnya belajar, Universitas Kairo.
Ambiguitas Rasjidi: Melawan Orientalisme Sekaligus Membela Snouck Hurgronje?
Lahir di Kotagede 20 Mei 1915, H.M. Rasjidi memiliki nama asli Saridin bin Atmosudigdo. Nama H.M. Rasjidi sendiri diperolehnya dari tokoh Persis Ahmad Syurkati yang kemudian baru dia gunakan pasca menunaikan haji.
Polemik yang sulit dipahami agaknya adalah konsistensi H.M. Rasjidi dalam menyerang Harun Nasution dan Nurcholis Madjid dengan perjalanan akademiknya sebagaimana yang selama ini dikesankan oleh pengutip argumen Rasjidi yang tidak bertanggungjawab.
Oleh mereka, H.M. Rasjidi dikesankan kaku dalam melawan sekularisme, liberalisme, dan orientalisme secara hitam putih. Padahal, H.M. Rasjidi mengeluarkan konfrontasi yang keras dalam dua bentuk yang tak bisa dilepaskan. Pertama adalah tanggungjawab akademis dan secara lajur akademis, dan kedua adalah konfrontasi argumen vis-a-vis argumen yang memiliki kandungan mislead dan merugikan terhadap agama Islam, bukan argumen vis-a-vis personal/pribadi tokoh tertentu.
Hal ini dapat terbaca dari catatan Megan Brankley Abbas dalam Whose Islam? The Western University and Modern Islamic Thought in Indonesia (2021) yang menulis bahwa H.M. Rasjidi terkesan dengan gurunya di Mesir, yakni orientalis ternama Louis Massignon yang kemudian merekomendasikan H.M. Rasjidi untuk melanjutkan kuliah di Sorbonne University, Paris–Perancis dengan biaya dari Yayasan Rockfeller.
Orang Indonesia Pertama Lulus Sorbonne
H.M. Rasjidi pada tahun 1956 berhasil menjadi orang Indonesia pertama lulusan Sorbonne dan meraih gelar doktor secara Cum Laude lewat disertasi berjudul L’evolution de I’lslam en Indesie ou consideration critique du livre Tjentini (Kajian kritis Serat Centini).
Saiful Umam dan Azyumardi Azra dalam Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (2009) mengungkapkan bahwa H.M. Rasjidi dalam disertasinya itu tidak menganggap Kejawen sebagai ajaran sesat. Menurut Rasjidi, Kejawen bersumber dari sufisme Islam dan penolakannya semata-mata karena tidak sesuai dengan kehidupan modern.
Keteguhannya membela Islam yang terkesan reaktif inilah yang sempat menjadikan posisi Rasjidi sebagai pengajar mata kuliah Islamic Studies di McGill University – Montreal, Kanada bermasalah.
Karir di Amerika
Keberaniannya mendebat pernyataan keliru ahli hukum Islam Columbia University yakni J. Schacht dalam ceramah di McGill membuat Rasjidi difitnah oleh beberapa pihak sebagai orang ortodoks.
Pembelaan guru besar bernama Toshihiko Izutsu yang berhasil menyelamatkan posisi Rasjidi di McGill. Tak kapok, Rasjidi melakukan hal yang sama saat menjabat sebagai Direktur Pelaksana Pusat Islam di Washington DC tahun 1963 dengan mendebat Majid Khadduri.
Mengagumi Snouck Hurgronje
Azra (2009) menulis bahwa sikap objektif Rasjidi inilah yang membuat dirinya menghargai orientalis seperti Massignon hingga Snouck Hurgronje sekaligus bersikap konfrontatif pada mereka yang mendistorsi makna dari ajaran Islam.
Alasan utama Rasjidi membela Hurgronje, terutama setelah dirinya menemukan pernyataan pedas Hurgronje kepada misionaris di bumi Nusantara yang sering mengkritik kelemahan Islam sementara melupakan sejarah negatif mereka sendiri dalam kronologi Kristianitas di Eropa.
Snouck Hurgronje beranggapan bahwa banyak orang Eropa menyembah patung, percaya tahayul dan tidak membaca Injil sehingga mereka tidak punya legitimasi moral untuk mengkristenkan orang Islam. Hal inilah yang membuat Rasjidi percaya bahwa Snouck adalah pembela Islam.
Akhir Hayat
H.M. Rasjidi kembali ke haribaan Allah Subhanahu wa Ta’ala pada usia yang ke-85 tahun di penghujung tahun 2001. Almarhum dimakamkan di tanah kelahirannya, Kotagede, Yogyakarta.
Guru Besar Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini wafat dengan meninggalkan lebih dari 16 buku di bidang pemikiran dan filsafat.
Selain sebagai Direktur Rabithah Alam Islami di Jakarta, Rasjidi merupakan salah seorang pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).
Carool Kersten (2017) mengungkapkan bahwa Rasjidi turut berjasa dalam pendidikan nasional. Kebutuhan mengisi lembaga peradilan Islam pada dekade pertama Indonesia merdeka membuat Rasjidi bersama M. Natsir, Hatta, dan Wahid Hasyim mendirikan Sekolah Tinggi Islam pada tahun 1948. Dalam sejarahnya, lembaga pendidikan inilah yang kemudian berubah menjadi IAIN/UIN.
Menutup usia dalam khidmat keumatan sebagai anggota di Pimpinan Pusat Muhammadiyah. H.M Rasjidi digambarkan sebagai sosok penjaga akidah umat yang langka oleh Dawam Rahardjo dan Nurcholis Madjid.
“(Rasjidi adalah) The Guardian (penjaga) dunia pemikiran Islam Indonesia yang selalu cemas bila melihat gejala ‘penyimpangan’ atau ‘penyelewengan’ dalam kegiatan intelektual,” demikian catat Lukman Hakiem dalam Jejak Perjuangan Para Tokoh Muslim Mengawal NKRI (2018).
Naskah: Affandi
Editor: Fauzan AS
Hits: 316