MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Istilah radikalisme sesungguhnya netral dalam dunia pemikiran dan gerakan. Namun saat memasuki realitas politik, terminologi ini identik dengan kekerasan lebih-lebih sama dengan terorisme. Faturrahman Kamal menyayangkan istilah radikalisme yang berkembang di Indonesia sering berkonotasi pada kelompok Islam. Tautan radikal Islam itu bahkan seakan bersinonim dengan ekstremis dan teroris.
Faturrahman juga tidak setuju bila salah satu ciri-ciri radikal adalah fanatik terhadap agama. Menurutnya, ukuran-ukuran fanatik tersebut perlu didiskusikan terlebih dahulu agar tidak terjadi tebang pilih. “Kita di Muhammadiyah kalau konsisten dengan pandangan-pandangan keagamaan Muhammadiyah, bagi orang lain juga fanatik. Apakah kemudian dapat dikatakan Muhammadiyah sebagai radikal?” tutur Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah ini dalam Pengajian Akhir Tahun 2020 Angkatan Muda Muhammadiyah D.I. Yogyakarta pada Ahad (27/12).
Karenanya indikator radikalisme bagi Faturrahman begitu kabur dan banyak bias ideologi. Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menyatakan bahwa Pada Muktamar Muhamamdiyah ke-47 tahun 2015, PP Muhammadiyah lebih memilih menggunakan istilah ekstremisme ketimbang radikalisme. “Indikator ekstremisme lebih mudah dipahami ketimbang radikalisme,” katanya.
Dalam bahasa Arab, ekstremisme diartikan dengan “al-Tatarruf” (pinggiran). Faturrahman menerangkan bahwa istilah al-Tatarruf bisa diartikan sebagai sebuah posisi yang terlalu kanan atau kiri. Karenanya “al-Tatarruf al-Din” berarti orang-orang yang mempraktikkan ajaran agama dengan tidak semestinya. Penggunaan istilah ini bagi Faturrahman memudahkan untuk mencari jalan keluar yaitu dengan menjadi umat yang tengahan.
Selain istilah al-Tatarruf, ekstremisme juga kadang dimaknai sebagai “al-Tasyaddud” (keras). Faturrahman menjelaskan bahwa al-Tasyaddud berarti sikap yang berlebih-lebihan di dalam menjalankan agama. Padanan ini bersinomim dengan istilah “al-Ghuluw” yang berarti tidak proporsional di dalam menjalankan ajaran agama.
Oleh karena itulah, kata Faturrahman, penggunaan istilah al-Tatarruf, al-Tasyaddud, dan al-Ghuluw untuk menggambarkan ekstremisme di dalam agamamerupakan lawan kata dari moderasi atau al-Wasathiyyah. “Begitu kita menyebutkan terminologi wasatha, kita akan dapat menemukan solusi-solusi praktis dalam a-Qur’an saat menanggulangi ekstremisme,” terang Faturrahman.
Berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan al-Sunah, Moderasi Islam berarti paham dan aliran pemikiran yang mengedepankan sikap moderat (tawassuth), adil (al-‘adl) bijak (al-hikmah), mengutamakan kebaikan (al-khairiyah) serta seimbang dan proporsional (i’tidal) dalam beragama. Karenanya Faturrahman Kamal setuju dengan Haedar Nashir: dalam menanggulangi ekstremisme, maka pemikiran dan gerakan wasathiyyah perlu ditampilkan.(ilham)
Hits: 7