MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Gerakan atau etika welas asih yang dilakukan oleh KH. Ahmad Dahlan merupakan bentuk kesadaran baru terhadap nilai-nilai Agama Islam, etika ini juga yang menjadi dasar menjamurnya kegiatan sosial – kemasyarakatan yang dilakukan oleh Muhammadiyah sebagai Penolong Kesengsaraan Umum.
Etika welas asih di masa pandemi covid-19 dan masa-masa sulit lain menjadi oase bagi bangsa, umat dan kemanusiaan untuk saling menjaga, dan berbagai di tengah kesulitan yang mendera. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang membidangi Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas menyebut, etika welas asih merupakan watak kemanusiaan bangsa Indonesia.
Watak asli kemanusiaan bangsa Indonesia dipraktekkan dengan baik oleh rakyat selama masa kritis pandemi covid-19. Busyro mengaku takjub, sebab di masa kritis pandemi covid-19 di lorong-lorong kecil dan sempit di desa dan kampung, etika welas asih diimplementasikan melalui kegiatan berdaya bersama dengan sharing and caring sesama rakyat.
“Sifat welas asih rakyat membelanjakan kebutuhan tetangga yang sedang isoman. Apa saja yang ada di rumah sampai sampai yang harus diadakan sesuai kemampuannya dengan wajah ceriah diperuntukkan bagi tetangga lintas dukuh, rt, rw. Itulah sepenggal kecil kisah keaslian rakyat yang jujur, tulus, polos sebagai wujud kondisi batinnya,” ucap Busyro pada (23/12).
Di acara Refleksi Akhir Tahun yang diadakan oleh Majelis Lembaga Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) PP Muhammadiyah tersebut, Busyro menguraikan situasi dan kondisi batin terbalik yang dialami oleh pejabat publik yang korup. Di masa sulit akibat pandemi covid-19, oknum pejabat mempertontonkan etika nir-welas asih.
Bahkan dengan tegas Busyro memastikan, oknum pejabat publik yang melakukan tindakan korupsi di masa sulit pandemi covid-19 sebagai birokrat yang tidak beradab, mereka adalah birokrat yang kumuh, tuna rasa dan tuna etika. Di mata mereka, rakyat diposisikan sebagai “sapi perah”.
Oleh karena itu, Busyro kembali menegaskan pentingnya memiliki etika welas asih di kalangan birokrat. Etika welas asih menurutnya sebagai kompas supaya negeri ini tidak terseret arus terlalu jauh, menjadi negeri tuna demokrasi dan melakukan tindak inkonsistensi terhadap konstitusi. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga watak asli bangsa ini.
“Jika masih berlangsung, pertanda punahnya budaya welas asih yang tersubstitusi oleh pelembagaan watak basa-basi,” tegasnya.
Sebab, jika nafsu pribadi dan kelompok yang dikedepankan oleh para birokrat dan pemangku kepentingan, Busyro khawatir pembelaan sejati kepada rakyat tidak lagi di tangan penguasa. Melainkan pembelaan maupun advokasi kepada rakyat (civil society) akan dilakukan oleh masyarakat sipil juga, yang masih menjunjung tinggi independensi dan harkat martabat diri.
Hits: 44