MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Menjelang tutup tahun 2021, Majelis Hukum dan HAM (Hak Asasi Manusia) kerjasama dengan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah gelar Webinar Refleksi Akhir Tahun “Catatan Kritis 2 Tahun Pemerintah: Melayani Oligarki atau Rakyat ?”.
Webinar yang diselenggarakan pada (23/12) secara daring tersebut dibuka sekaligus memberikan sambutan kunci oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM dan Kebijakan Publik Busyro Muqoddas. Selain itu, juga menghadirkan pakar di bidang ekonomi dan politik, seperti Prof. Susi Dwi Harijanti, Prof. Vedi R. Hadiz, Faisal Basri, Prof. Nurul Barizah, dan Herlambang P. Wiratman.
Dalam paparannya, Busyro Muqoddas menguraikan situasi dan kondisi batin terbalik yang dialami oleh pejabat publik yang korup. Di masa sulit akibat pandemi covid-19, rakyat gotong royong saling bantu sesame rakyat, sedangkan oknum pejabat mempertontonkan etika nir-welas asih. Bahkan dengan tegas Busyro memastikan, oknum pejabat publik yang melakukan tindakan korupsi di masa sulit pandemi covid-19 sebagai birokrat yang tidak beradab, mereka adalah birokrat yang kumuh, tuna rasa dan tuna etika. Di mata mereka, rakyat diposisikan sebagai “sapi perah”.
Oleh karena itu, Busyro kembali menegaskan pentingnya memiliki etika welas asih di kalangan birokrat. Etika welas asih menurutnya sebagai kompas supaya negeri ini tidak terseret arus terlalu jauh, menjadi negeri tuna demokrasi dan melakukan tindak inkonsistensi terhadap konstitusi. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga watak asli bangsa ini.
“Jika masih berlangsung, pertanda punahnya budaya welas asih yang tersubstitusi oleh pelembagaan watak basa-basi,” tegasnya.
Etika nir-welas asih menurut Busyro menjadikan terjadinya kausalitas korupsi hulu – hilir, punahnya nilai ke-sahabatan sejati, dan pada ujungnya membentuk negeri yang tuna demokrasi.
Sementara itu, Prof. Susi Dwi Harijanti Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran menuturkan bahwa secara ideal Indonesia telah memiliki perangkat keras yang memungkinkan untuk mengatur berjalannya negara dengan baik, akan tetapi pada kenyataannya terjadi ketidaksesuaian antara idealita dengan realita.
Mengutip Marjanne Termorshuizen-Artz, Prof. Susi menuturkan perangkat keras yang dimiliki oleh Indonesia yaitu trias politica, konstitusi yang memuat hak-hak asasi manusia, demokrasi, institusi-institusi hukum, dan lain-lain.
“Yang menjadi persoalan adalah apakah perangkat-perangkat keras tersebut dalam pelaksanaannya telah berfungsi secara wajar, terutama dalam suatu negara yang selama lebih dari 30 tahun tidak menjalankan tradisi demokrasi dan konstitusionalisme (khususnya pada masa Orde Lama dan Orde Baru)”. Tuturnya.