MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang memiliki aset tanah melimpah tapi swasembada pangannya sendiri belum tercukupi. Selain negara agraris, Indonesia juga negara yang berdasar ketuhanan, dan muslim menjadi populasi mayoritas, maka perspektif Islam dalam pembaruan dan tata kelola agraria sangat dibutuhkan.
Rumusan panduan tata kelola agraria yang bersumber dari ajaran Islam, dengan demikian dapat melengkapi dan memperkuat implementasi kebijakan pemerintah tentang pembaruan dalam tata kelola agraria. Dengan demikian, Moh Soehadha dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (06/01) menuturkan bahwa perumusan Fikih Tata Kelola dan Pembaruan Agraria yang disusun oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah ini menemukan arti penting dan relevansinya.
Metodologi dalam penyusunan Fikih Agraria ini menggunakan pendekatan yang biasa digunakan dalam Majelis Tarjih dan Tajdid. “Kita akan merespon problem agraria ini dengan nash-nash syariah, al-Qur’an dan Sunnah Maqbullah. Ini yang biasa kita sebut pendekatan bayani. Kemudian kita juga akan mengakamodir problem ini dengan pendekatan burhani. Yang ketiga adalah pendekatan irfani, dimana kita juga mengutamakan kepekaan nurani dalam mengatasi problem agraria”, imbuhnya.
Sementara itu, nilai-nilai dasar yang terkandung di dalam Fikih Agraria ini meliputi enam hal.
Pertama, Tauhid
Nilai dasar tauhid meniscayakan bahwa segala yang ada di langit dan bumi secara mutlak dan total hanya milik Allah. Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah yang diberi akal ditugaskan untuk mengelola bumi (QS. Ali Imran: 189 dan al-Nahl: 49).
Kedua, al-Akhlak al-Karimah
Nilai dasar kemuliaan manusia ini merupakan konsekuensi dari ketauhidan. Secara etika individual maupun sosial, manusia sebagai khalifah Allah memiliki kewajiban untuk memakmurkan alam dan bumi seisinya dengan segala potensi sumber daya yang terdapat di dalamnya (QS. Shad: 26).
Dalam kaitannya dengan sumber daya yang mati atau terbengkalai karena satu dan lain hal, Nabi saw memberikan perintah kepada manusia untuk memberdayakannya sebagai wujud akhak yang mulia terhadap bumi. Dalam hadis yang diriwayatkan Ibn Hibban, Rasulullah menyatakan bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, maka akan diberi pahala. “Manusia diberi tanggungjawab moral untuk memakmurkan alam ini,” kata Soehadha.
Ketiga, Kemaslahatan
Nilai dasar ini menandakan bahwa kemaslahatan harus menjadi tolok ukur dalam mengelola, memberdayakan, sampai membuat kebijakan yang terkait dengannya.
Keempat, Keadilan
Soehadha menerangkan bahwa nilai dasar keadilan tercermin pada proses pembuatan hukum, penegakan hukum, jaminan proses pemerataan kesejahteraan rakyat, dan solidaritas umat dan bangsa.
Kelima, Kemanusiaan
Soehadha menuturkan bahwa membangun, menjaga kelestarian, dan memanfaatkan sumber agraria pada hakikatnya adalah upaya manusia dalam menjaga jiwa dan kemuliaan manusia. Hal tersebut termaktub dalam QS. Al-Baqarah ayat 29 yang menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi boleh dimanfaatkan untuk keberlangsungan hibup manusia.
Keenam, Musyawarah
Nilai dasar musyawarah berarti mengutamakan harmoni dalam pengelolaan agraria. Sebab secara sosial dan kemanusiaan, dalam pemilikan dan pemanfaatan lahan serta alam sekitar, tentu tidak lepas dari nilai musyawarah yang menghasilkan kesepakatan antar warga masyarakat. “Ini penting sebab sekarang masih banyak konflik-konflik agraria antar masyarakat,” tuturnya.
Itulah keenam nilai-nilai dasar Fikih Agraria yang disusun Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah. Nilai-nilai tersebut diserap langsung dari semangat al-Quran dan as-Sunnah dan merupakan nilai paling esensial dalam ajaran Islam. Karenanya, penyusunan Fikih Agraria berangkat dari keenam nilai-nilai dasar di atas.
Hits: 71