MUHAMMADIYAH.ID, KUDUS – DNA Muhammadiyah adalah tajdid atau pencerahan, demikian ungkap Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir dalam Pengajian Ramadan UM Kudus, Senin (26/4).
“Tajdid dalam makna pembaharuan sudah melekat menjadi identitas dan bahkan dari pihak luar label atau predikat pada organisasi kita Muhammadiyah,” tutur Haedar sembari menjelaskan bahwa dalam definisinya, tajdid itu memiliki empat aspek yang menjadi satu kesatuan.
Pertama, makna tajdid adalah Al-I’adah atau mengembalikan sesuatu yang telah berpindah tempat atau keluar rel kepada relnya atau tempat aslinya.
Kedua, tajdid merangkum makna sebagai Al-Ihya’ atau menghidupkan suatu tradisi atau kehidupan yang telah lama mati atau ditinggalkan.
Ketiga, makna tajdid juga merangkum Al-Ba’ats atau membangkitkan. Dan keempat adalah Al-Islah atau melakukan perbaikan dan membangun kembali aspek kehidupan yang telah rusak.
“Kalau organisasi kita atau kehidupan keumatan kita yang dulunya bagus lalu banyak masalah, banyak kebocoran, banyak korupsi harus kita perbaiki, rekonstruksi, bangun kembali. Itulah tajdid,” jelas Haedar.
Bagi Muhammadiyah, tajdid sendiri menurut Haedar menjadi pijakan bagi Islam sebagai agama peradaban.
“Artinya secara teologis tajdid itu melekat dengan Islam itu sendiri. Islam sebagai agama tajdid selalu membangkitkan, menghidupkan dan mengembalikan sesuatu kepada proporsinya,” terangnya.