MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Salah satu ulama yang banyak memberikan pengaruh terhadap pemikiran Muhammadiyah ialah Muhammad Abduh (1849-1905). Ketua PP Muhammadiyah Agung Danarto dalam acara Pengajian Ramadan 1444 H yang diadakan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Sabtu (25/03) di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta membeberkan pokok-pokok pemikiran Ulama asal Mesir tersebut.
Menurut Agung, Abduh memiliki pendapat bahwa bahwa kemunduran umat islam disebabkan karena paham jumud atau keadaan membeku, statis, tak ada perubahan. Paham jumud menyebabkan umat Islam tidak menghendaki perubahan, tidak mau menerima perubahan dan berpegang teguh pada tradisi.
“Abduh juga berpendapat bahwa masuknya berbagai macam bidah membuat umat Islam lupa akan ajaran Islam yang sebenarnya,” tutur Agung.
Abduh (dan juga Rasyid Ridha) mengkritik tradisi tarekat-sufistik yang bagi mereka menjadi salah satu faktor mundurnya tradisi berpikir logis di dunia Islam. Abduh mengajak umat Islam untuk kembali ke ajaran yang asli, tetapi disesuaikan dengan keadaan modern sekarang.
Menurut Agung, pemikiran Abduh kerap dipengaruhi Ibnu Taimiyah. Merujuk kepada paham Ibn Taimiyah yang membagi ajaran Islam menjadi dua kategori, yaitu ibadah dan mua’amalah. Ajaran mengenai ibadah bersifat tegas jelas dan terperinci. Sedangkan muamalah hanya merupakan dasar dan prinsip umum yang tidak terperinci. Abduh berpendapat bahwa semua ajaran muamalah dapat disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Bagi Abduh, kata Agung, ijtihad bukan hanya boleh, tetapi penting untuk dilakukan. Hanya orang yang memenuhi syarat yang boleh berijtihad. Mereka yang tidak memenuhi syarat menjadi seorang mujtahid harus mengikuti ijtihad para pakar atau ulama. Lapangan ijtihad hanya masalah muamalah. Ibadah bukan merupakan lapangan ijtihad untuk zaman modern ini.
“Kalau di Muhammadiyah kita ijtihadnya jamai. Kalau orang perorang, kita susah untuk menemukan orang dengan syarat (menjadi mujtahid) secara sempurna,” ucap Agung.
Abduh berpandangan bahwa taklid perlu diperangi karena membuat berhenti berpikir dan akal menjadi berkarat. Al-Qur’an berbicara bukan semata kepada hati manusia, tetapi juga kepada akalnya. Islam memandang akal mempunyai kedudukan yang tinggi. Iman seseorang tidak sempurna kalau tidak didasarkan pada akal. Kalau zahir ayat bertentangan dengan akal, kata Agung mengutip Abduh, harus dicari interpretasi yang membuat ayat itu sesuai dengan pendapat akal.
“Ini berbeda dengan kalangan Wahabi. Kepercayaan pada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Akal akan memikirkan dan memperoleh jalan yang membawa kepada kemajuan. Pemikiran akallah yang menimbulkan ilmu pengetahuan,” kata Agung.
Menurut Agung, kepercayaan pada kekuatan akal membawa Muhammad Abduh kepada paham bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatan (free will dan free act atau qadariyah). Ia setuju dengan pendapat yang menyatakan bahwa kemunduran umat Islam disebabkan karena menganut paham jabariyah (fatalisme).
“Umat Islam harus mementingkan pendidikan. Sekolah modern perlu dibuka. Sistem pelajaran di Al-Azhar harus dipermodern. Namun proyek Abduh ini gagal. Muhammadiyah justru lebih berhasil di bidang ini,” ucap Agung.
Hits: 651