MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG—Komitmen Muhammadiyah terhadap Pancasila secara tegas disusun dan dibahas dalam Muktamar Muhammadiyah 47 di Makassar 2015 yang lalu. Keputusan Muktamar yang tertuang dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-47 tersebut menyebutkan secara jelas bahwa Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah. Konsep ini sesungguhnya menegaskan komitmen keislaman dan keindonesiaan yang dipahami Muhammadiyah.
Menurut Rizal Fadhillah, Darul Ahdi Was Syahadah merupakan tema orisinil Muhammadiyah mengenai Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Penetapannya pada tanggal 18 Agustus 1945, setelah sebelumnya ada rumusan 22 Juni dan 1 Juni 1945. Bagi persyarikatan yang didirikan KH. Ahmad Dahlan ini, Pancasila merupakan “ahdun” atau kesepakatan yang butuh “syahadah” atau implementasi dan aktualisasi.
Konteks historis pemahaman Darul Ahdi berangkat dari kesepakatan tokoh-tokoh agama terutama Islam semisal Bagus Hadikusumo, Kasman Singadimedjo, dan lain-lain. Mereka berunding mencari titik temu agar konsepsi Pancasila diterima secara tulus baik oleh kalangan islam maupun kalangan nasionalis. Karenanya, konsep Darul Ahdi ini hadiah dari umat beragama terutama umat muslim terhadap bangsa Indonesia.
“Sejarah pertarungan kelompok politik ‘kebangsaan’ dan ‘Islam’ diselesaikan dengan peran besar tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo dan Kasman Singodimedjo. Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 2015 menyepakati Darul Ahdi Wa Syahadah sebagai titik temu dari berbagai pertentangan kekinian,” ujar Rizal dalam kajian Gerakan Subuh Mengaji yang diselenggarakan Pimpinan Wilayah ‘Aisyiyah Jawa Barat pada Kamis (03/03).
Darul Ahdi atau negara kesepakatan tidak cukup bila tidak dibarengi dengan al-Syahadah atau persaksian. Al-Syahadah merupakan keterlibatan langsung dalam mengatasi berbagai masalah, bekerja keras dalam mewujudkan kemaslahatan, dan aksi partisipatoris dari kaum muslim dalam proses pembangunan sumber daya manusia.
“Beberapa aktualisasi yang bisa dilakukan ialah Pancasila sebagai alat pemersatu, menjadi negara bermoral dan religius yang sarat nilai ketuhanan dan kemanusiaan, nilai kebersamaan sebagai warga negara, nilai kerakyatan seperti demokrasi, hikmah, dan nilai keadilan dalam hukum maupun ekonomi,” tutur Rizal.