MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Dunia pendidikan Islam masih terjebak pada ketegangan antara tradisi dan modernitas. Pembedaan diametral antara dua ranah ini sering diterjemahkan secara biner: menolak tradisi berarti menerima modernitas, atau sebaliknya. Alhasil, tidak sedikit sarjana Islam yang dihadapkan pada posisi dilematis ini. Menurut Muhamad Rofiq Muzakkir, dampak dari adanya dikotomi tradisi dan modernitas ini ialah melahirkan lima fenomena kesarjanaan Islam kontemporer, di antaranya:
Pertama, keterputusan epistemik. Modernitas sebagai konsekuensi dari pencerahan Barat menyebabkan sarjana Islam mengalami amnesia terhadap tradisi intelektual Islam. Fenomena ini terjadi sejak munculnya kolonialisme di dunia Islam pada abad ke-19. Penjajah tidak hanya menguasai tanah dan lahan, tapi juga mentalitas umat Islam. Hasilnya sudah bisa ditebak: sesiapa yang mempertahankan tradisi keilmuan Islam akan dipandang secara sinis sebagai kaum tertinggal.
“Sejak kolonialisme hadir, kita mengalami amnesia keilmuan. Kita tidak lagi familiar dengan ilmu-ilmu Islam tradisional yang ada. Kita tidak lagi memiliki keakraban dengan masa lalu (turats),” ucap Rofiq dalam kajian yang diselenggarakan Pimpinan Cabang Muhammadiyah Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Spanyol pada Sabtu (18/03).
Kedua, dekonstruksionisme. Fenomena ini lahir tidak lahir dari tradisi keilmuan islam melainkan dari cara pandang post-modernisme. Jika modernisme secara perlahan menyebabkan keterputusan epistemik dengan masa lalu, maka post-modernisme malah meruntuhkan otoritas termasuk Tuhan. Segala bentuk kemapanan diruntuhkan dan menganggapnya sebagai langkah kemajuan. Contoh dari proyek dekonstruksionisme ialah adanya identitas gender di luar laki-laki dan perempuan atau yang biasa disebut dengan queer.
“Jenis kelamin menurut teori queer bukan hanya laki-laki dan perempuan, boleh ada yang other (liyan). Mereka membuka ruang bagi pihak-pihak yang masih kebingungan dengan identitas kelaminnya. Ini lahir dari cara pandang dekonstruksionisme,” ucap alumni Arizona State University ini.
Ketiga, replika epistemik (taqlid). Dua fenomena sebelumnya lahir dari sarjana Islam yang menempatkan modernitas berada di posisi yang superior dibanding tradisi. Sebaliknya, fenomena replika epistemik ini justru lahir dari sarjana Islam yang memandang masa lalu sebagai sesuatu yang mewah dan tidak bisa digugat. Akibatnya, aktivitas keilmuan hanya dalam rangka repetisi pandangan-pandangan masa lalu, bahkan abai dengan temuan dan wacana kontemporer.
Keempat, pseudo-science. Fenomena ini lahir dari cara pandang triumfalis-apologetik yang hanya mengklaim temuan orang lain sebagai bagian dari capaian peradaban Islam. Dalam konteks membangun rasa percaya diri, model ini memang paling menarik bagi sebagian ilmuwan dan kebanyakan kalangan awam. Namun, sayangnya pendekatan ini membuatdunia Islam tidak terlibat dalam upaya mengembangkan sains dan kerangka teoretik. Tokoh paling populer dalam hal ini adalah Maurice Bucaille.
“Mereka hanya melihat perkembangan sains yang telah terjadi, kemudian menariknya dan menghubungkannya dengan ayat Al-Quran, namun tidak ada aktivitas Saintifik maupun membangun kerangka teoritik di dalamnya,” terang dosen Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah (PUTM) ini.
Kelima, fobia terhadap modernitas. Fenomena ini lahir dari anggapan bahwa modernitas merupakan sebuah ancaman. Segala yang lahir dari alam pikiran modern dianggap kekuatan yang berbahaya bagi keyakinan. Fenomena ini melahirkan umat Islam yang gagap dengan perkembangan zaman. “Seola-olah kita di ambang kerusakan iman kalau berinteraksi dengan kemoderenan. Ini fenomena di dalam tubuh umat Islam secara umum,” terang Rofiq.
Rofiq menegaskan bahwa tradisi dan modernitas bukanlah kategori eksklusif yang saling menafikan satu sama lain. Meski terkesan sulit, namun keduanya dapat disatukan Kedua nya adalah entitas epistemik yang perlu diintegrasikan secara kreatif. Pendidikan Islam yang ideal adalah sistem pendidikan yang berhasil menyintesakan kedua aliran ini. Karenanya, dosen-dosen di Perguruan Tinggi Muhammadiyah mesti memiliki keakraban tidak hanya ilmu-ilmu modern tapi juga tradisional.
Hits: 1007