MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA— Potensi Zakat Infak dan Shadaqah di Indonesia begitu tinggi. Dari potensi zakat Rp.230 triliun—seperti diungkap Badan Amil Zakat Nasional (Baznas)— baru Rp8 triliun (3,5 persen) yang terkumpul.
Hal tersebut menandakan terjadinya kesenjangan antara potensi zakat dengan pendapatan riilnya.
“Kesenjangan seperti ini sering terjadi bukan hanya dalam zakat dan shadaqah, tapi juga dalam banhyak aspek. Bahkan dalam perilaku kita sehari-hari dalam hal keberagamaan boleh jadi terjadi. Terkadang perkataan baik tidak terwujud di dalam dunia nyata,” kata Haedar Nashir sambil mengutip QS. Al-Shaff ayat 3 pada Sabtu (27/02).
Dalam realitas kehidupan nyata, antara kata dan realita harus dilakukan dengan baik. Haedar mengutip sebuah sastra Arab yang sangat tepat menggambarkan tentang kondisi umat Islam saat ini, yaitu lisanul hal afshahu min lisanil maqal. Artinya, perbuatan nyata itu lebih valid, daripada kata-kata, retorika, dan klaim narasi.
“Apalagi di dunia yang semua orang itu juga punya memiliki kemampuan melihat realitas. Di era digital seperti ini kita harus berhati-hati dalam berkata karena rekaman jejak kata-kata kita itu bisa diungkap kembali saat ini,” ungkap Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas di Indonesia secara keseluruhan belum mampu menunjukkan kesejalanan antara kuantitas dan kualitas. Dalam bidang muamalah, misalnya, kuantitas umat Islam tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas. Haedar memandang umat Islam saat itu seperti piramida terbalik yang artinya secara ekonomi masih dalam kelas menengah ke bawah.
“Ketika kita bicara 100 orang kaya itu yang kaya itu dari kaum muslim tidak lebih dari 10 orang. Kalau bicara 100 orang miskin, insyaAllah yang 90 orang itu orang Islam. Kenapa begini? Karena ketika mengumpulkan dana tidak bisa dan belum bisa mencerminkan jumlah kuantitas umat Islam,” tutur Haedar mengutip perkataan mantan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla.
Kondisi ini menjadi salah satu faktor utama dari masih lemahnya ekosistem. Ketika ekonomi masih lemah, kata Haedar, hal ini akan berdampak pada aspek politik dan lain-lain. Akan tetapi Haedar mengingatkan agar umat Islam tidak lantas pesimis sebab kita masih bisa mengusahakannya lewat perhimpunan yang solid baik rakyat miskin maupun kaya.
“Misalkan 100 juta muslim yang berpenghasilan bawah menghimpun dana setiap orang Rp. 10.000, kita akan menghasilkan dana yang cukup besar. Belum lagi kalau misalkan 10 orang dari kalangan konglomerat yang menghimpun dana hingga Rp. 10 triliun, itu kan jadi lain ceritanya,”tuturnya.
Karenanya, pekerjaan rumah terbesar umat Islam saat ini adalah meningkatkan spirit zakat, infak, dan shadaqah. Sebab itulah penting sekali untuk menanamkan pemahaman bahwa Islam menetapkan bagian tertentu dari kekayaan pribadi untuk dipergunakan sebagai jaminan sosial bagi warga masyarakat lainnya.