MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA–Ibadah wakaf dapat terlaksana apabila memenuhi unsur-unsur seperti adanya wakif (orang yang melakukan wakaf),Nadzir (pengurus harta wakaf), maukuf (harta yang diwakafkan), dan ikrar (pernyataan wakif). Pertanyaannya, bolehkah wakif mengambil kembali harta wakaf dengan alasan Nadzir tidak mampu mengelolanya?
Dalam hadis dari Ibnu Umar r.a, dia berkata: “Umar telah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu dia datang kepada Nabi saw untuk meminta pertimbangan tentang tanah itu, maka ia berkata:”Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, di mana aku tidak mendapatkan harta yang lebih berharga bagiku selain dari padanya, maka apakah yang hendak engkau perintahkan kepadaku sehubungan dengannya?” Maka kata Rasulullah saw kepadanya “Jika engkau suka, tahanlah tanah itu dan engkau sedekahkan manfaatnya.” Maka Umarpun menyedekahkan manfaatnya dengan syarat tanah itu tidak akan dijual, tidak akan dihibahkan dan tidak akan diwariskan. Tanah itu dia wakafkan kepada orang-orang fakir kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak ada halangan bagi orang yang mengurusnya untuk memakan sebagian darinya dengan cara yang ma’ruf dan memakannya tanpa menganggap bahwa tanah itu miliknya sendiri” (HR. Muslim).
Kebanyakan ulama menyamakan shadaqah jariyah dengan wakaf karena keduanya dipandang sebagai bentuk amalan yang pahalanya senantiasa mengalir. Hal ini dijelaskan dalam hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a: bahwasannya Rasulullah saw bersabda: “Bila manusia mati, maka terputuslah amalnya, kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak saleh yang mendoakan kepadanya” (HR. Muslim).
Berdasarkan pada hadis-hadis di atas khususnya hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar jelaslah bahwa wakaf adalah salah satu bentuk sedekah yang disyariatkan. Wakaf menjadi sah dan mengikat jika telah diikrarkan atau dilakukan suatu tindakan oleh Wakif yang menunjukkan adanya wakaf tanpa harus menunggu pernyataan menerima (qabul) dari pihak Nadzir. Apabila seseorang telah mewakafkan hartanya, maka tidak boleh dibatalkan atau diambil kembali, baik oleh Wakif maupun orang lain.
Keterangan di atas dipahami dari beberapa ungkapan dalam hadis-hadis Rasulullah saw yang menunjukkan adanya makna keabadian harta yang diwakafkan. Misalnya hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah di atas, wakaf dilukiskan dengan ungkapan shadaqah jariyah (sedekah yang pahalanya senantiasa mengalir). Ungkapan itu kemudian memberi pengertian bahwa wakaf itu berlaku terus menerus dan karenanya tidak dapat dibatalkan atau diambil kembali.
Harta yang telah diwakafkan tidak boleh dijual oleh siapapun sebagai miliknya sendiri. Tidak boleh dihibahkan dengan sesuatu hal yang menghilangkan kemanfaatannya. Demikian pula apabila Wakif meninggal dunia maka wakaf tersebut tidak boleh diwariskan. Hal ini didasarkan pada ungkapan yang terdapat dalam hadis riwayat Ibn Umar “Laa tubaa’u wa laa yubaa’u wa laa yuuratsu” (tidak dijual tidak dihibahkan dan tidak diwariskan). Hal ini bermakna bahwa harta wakaf tidak boleh dimiliki atau diambil kembali oleh Wakif.
Meskipun Nadzir tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk mengelola harta wakaf, tetap saja harta yang telah diwakafkan tidak dapat diambil atau dimiliki kembali oleh Wakif dan status barang tersebut akan selamanya menjadi barang wakaf. Adapun kalau Nadzir atau pengelola harta wakaf tidak mampu untuk merealisasikan tujuan dari Wakif atau hakikat tujuan wakaf maka Nadzirnya boleh diganti.
Demikian halnya apabila harta wakaf itu sudah tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya atau tidak lagi memberikan manfaat, maka boleh diubah atau diganti dengan yang lebih besar manfaatnya. Misalnya, harta wakaf berupa tanah yang dipergunakan sebagai pondok pesantren, namun seiring berjalannya waktu manfaat yang dihasilkan tidak besar dan cenderung terabaikan, maka kemudian tanah wakaf tersebut boleh diubah menjadi madrasah atau rumah sakit.
Atas dasar itu kemudian Majelis Tarjih dan Tajdid memberikan tuntunan wakaf sebagai berikut: “Kalau engkau telah mewakafkan, maka tidak berhak lagi engkau atas barang itu, kecuali sebagai orang lain yang hanya berhak menggunakannya saja, selanjutnya barang itu tidak boleh dijual, diberikan dan tidak boleh diwariskan. Maka janganlah engkau memberi batas waktu akan wakafmu itu dan tidak boleh engkau menentukan wakaf kepada seseorang atau golongan atau masjid dan sebagainya dengan mengingat maslahat-maslahatnya, begitu juga jangnalah mewakafkan barang yang mudah rusak. Kalau engkau menjadi anggota badan atau penguasa wakaf (Nadzir), wajiblah engkau pelihara sesuai dengan maksud orang yang berwakafserta mempergunakan sebagaimana mestinya, dengan bertaat kepada Allah dan berusaha memperbanyak faedah dari barang wakaf itu. Di mana perlu, kalau barang wakaf itu sudah lapuk atau rusak bolehlah engkau pergunakan untuk lainnya yang serupa atau engkau jual dan engkau belikan barang lain untuk meneruskan wakafnya.”