MUHAMMADIYAH.ID, JAKARTA – Sekretaris Umum Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Mukhaer Pakkana mengungkapkan bahwa saat ini banyak lembaga pendidikan tinggi kelas menengah ke bawah yang kesulitan bertahan di tengah pandemi.
Penyebabnya adalah rendahnya pengeluaran sektor pendidikan dan kesehatan di kalangan ekonomi lemah yang hanya berkisar antara 1,2%.
“Rendahnya pengeluaran komponen pendidikan dan kesehatan paralel dengan turunnya rerata upah pekerja baik di sektor industri maupun sektor pertanian. Bahkan mereka banyak yang terpental dan kehilangan pekerjaan,” ujar Mukhaer, Ahad (15/8).
Kondisi tersebut menurut Mukhaer menyulitkan Perguruan Tinggi kelas menengah ke bawah untuk mendongkrak penerimaan Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) atau Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Bagi pengelola pendidikan tinggi khususnya level menengah-bawah, kenaikan SPP menurut Mukhaer kini menjadi sesuatu yang sangat sensitif.
“Jika ada pengelola perguruan tinggi terutama kelas menengah ke bawah berani menaikkan SPP, pasti akan ditinggalkan mahasiswa. Terjadi eksodus alias putus kuliah atau mencari tempat kuliah yang jauh lebih mudah dan murah,” ungkapnya.
Berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan tinggi kelas menengah ke bawah, lembaga pendidikan tinggi kelas menengah ke atas menurutnya justru mudah untuk menarik mahasiswa baru.
Sebab masyarakat menengah atas berdasarkan pada catatan BPS adalah kelompok yang memiliki tabungan yang cukup untuk akses pendidikan dan kesehatan.
“Tentu, kelas ini mencari pilihan kuliah dan kesehatan yang lebih mahal dari rata-rata untuk anak-anaknya,” ujar Mukhaer.
Menyampaikan fakta di atas, Mukhaer berpesan agar pengelola pendidikan tinggi kelas menengah ke bawah untuk kreatif dalam mengelola pendidikan di dalam kondisi keterbatasan.
“Namun perlu diingat, hukum alam berbicara, bahwa yang survive dalam setiap bencana adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan situasi,” pesan Mukhaer.
Hits: 3