MUHAMMADIYAH.OR.ID, SEMARANG — Salah satu pemikiran KH. Ahmad Dahlan yang melandasi etos sosialnya ialah Al-Qur’an surat Al-Maun. Surat Al-Ma’un hasil pemikiran Kiai Dahlan ini menjadi ide penggerak organisasi Muhammadiyah selama bertahun-tahun. Menurut Haedar Nashir, inti daripada Al Maun ini adalah ibadah ritual itu tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial.
“Karena Al Maun ini Kiai Dahlan mempelopori yang melahirkan rumah miskin dan yatim. Bahkan lahir poliklinik pertama yang waktu itu rumah sakit hanya dimiliki kaum zending atau dari Kristen. Kiai Dahlan mengimplementasikan Al Maun menjadi rumah miskin dan yatim, dan rumah sakit yang waktu itu masih susah,” tutur Haedar dalam acara Khataman Al-Quran Online Universitas Dian Nuswantoro (UDINUS) pada Senin (14/06).
Teologi Al-Maun yang digagas dan dikembangkan oleh Kiai Dahlan dipandang oleh Haedar berhasil membawa gerakan Muhammadiyah membebaskan kaum lemah dari ketertindasannya, dengan perwujudan konkret adanya pendirian panti asuhan, rumah sakit, dan lembaga pendidikan. Saat ini lembaga-lembaga sosial Muhammadiyah tersebar luas di seluruh Tanah Air.
“Artinya dari Al Maun melahirkan al-Quran yang berjalan, al-Quran yang menjawab kehidupan, yang memberi manfaat, memberi maslahat. Bukan hanya bagi kita yang memahami al-Quran tapi juga buat orang lain bahkan yang berbeda agama, berbeda suku, berbeda golongan tetapi mendapat manfaat dari al-Qur’an,” jelas Haedar.
Jika Kiai Dahlan mengajarkan surat Al-Ma’un kepada murid-muridnya selama 3 (tiga) bulan, kemudian melahirkan tindakan sosial praksis, maka surat Al-’Ashr diajarkan lebih dari 8 (delapan) bulan. Menurut Haedar, pada saat itu penduduk setempat terheran mengapa surat Al-‘Ashr yang menempati urutan ke 103 ini begitu singkat bisa sampai berbulan-bulan dalam proses belajar-mengajarnya.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini menegaskan bahwa pemikiran Kiai Dahlan merupakan intisari dari QS. Al-Ashr. Meski digolongkan sebagai surah pendek, kata Haedar, surah ini memiliki makna yang mendalam. Mengutip Imam Syafii bahwa seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.
“Artinya betapa surat ini begitu penting karena mencakup banyak hal. Ayat pertama, demi waktu. Waktu itu bukan hanya menyangkut durasi, tetapi juga keadaan. Itulah yang kemudian melahirkan dari Al-‘Ashr itu ‘ashariyah atau kemodernan,” ungkap Haedar.