MUHAMMADIYAH.ID, YOGYAKARTA – Pendiri Peace Generation Irfan Amalee menyampaikan fakta menarik di balik menguatnya tren para pemuda yang mulai lari dari agama hingga menjadi agnostik (tidak beragama tapi percaya Tuhan) atau menjadi ateis (tidak percaya Tuhan dan agama).
Mengutip data dari atheistcensus.com yang dimuat oleh Tirto.com, Irfan menyebut ada 1.757 pemuda Indonesia yang menyatakan sebagai ateis dan 56 persen berasal dari agama Islam. Angka yang tidak terdaftar diperkirakan jauh lebih besar.
Pelarian anak muda menjadi ateis atau agnostik menurut Irfan disebabkan oleh kekecewaan terhadap perilaku para dai atau pemuka agama Islam yang tidak menampilkan ajaran welas asih di dalam Islam. Selain itu, pola pendidikan agama dari orangtua yang dogmatis dan keras menurutnya juga memiliki andil dalam ateisme para pemuda.
“Ini menurut saya menjadi sebuah tamparan bagi kita, orang-orang yang beragama dan menginginkan generasi berikutnya taat pada agama tetapi mentransmisikan ajaran-ajaran agama yang justru membuat anak-anak sebaliknya menjadi tidak simpati dengan agama,” tutur Irfan dalam Pengajian Bulanan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jumat (14/10).
Selain kutub ekstrim keluar dari agama Islam, pola pendidikan orangtua dan ajaran para dai juga memiliki andil dalam kutub yang berbeda, misalkan menjadikan seorang anak berpaham radikal.
“Ketika orangtua menyampaikannya dengan nilai-nilai welas asih, maka anak-anaknya akan menangkap sikap welas asih dari Allah. Tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, maka mereka melihat bahwa agama itu tidakk mencerminkan nilai-nilai kelembutan itu,” imbuhnya.
Saran Bagi Muhammadiyah
Menanggapi kasus ini, Irfan berharap Muhammadiyah memperkuat penguatan dakwah moderat berbasis komunitas, jamaah, hingga melakukan penguatan keluarga.
Mengutip survei lembaga riset Alvara, keluarga memiliki andil yang lebih besar terhadap pemahaman agama anak-anak dibanding media sosial.
Di media sosial sendiri, anak-anak muda mayoritas mencari tema agama terkait fikih (58%), muamalah (54%), dan sejarah (28%). Sialnya, informasi yang paling banyak tersedia tentang tiga hal tersebut adalah dari kelompok yang memaknai agama secara tekstual, harfiah dan lepas dari konteks sosio-historis. Akibatnya, arus radikalisme pun semakin besar.
Irfan juga menawarkan tujuh buah pendekatan yang dirumuskannya dari pengalaman membina para pemuda yang jatuh dalam dua kutub ekstrim berbeda di atas.
Tujuh pendekatan itu adalah menumbuhkan tujuh hal, yakni 1) kesadaran internal bukan kendali dari luar, 2) konsekuensi logis-bukan hukuman, 3) dukungan-bukan hadiah, 4) koneksi sebelum koreksi, 5) memahami bukan menghakimi, 6) mengendalikan diri-bukan mengendalikan anak, dan 7) lembut sekaligus tegas.
Selain tujuh hal itu, Irfan menilai perlu mengajak dan membimbing anak-anak muda untuk berpikir kritis.
“Banyak sekali perspektif-perspektif kalau kita ini mengajarkan kepada anak muda tentang critical thinking, melihat lebih clear, kesalahpahaman terhadap agama ini akan minim terjadi,” pungkasnya.