MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Gerakan dakwah Muhammadiyah yang kemudian melahirkan gerakan organisasi sayap perempuan pada 1917 merupakan fenomena modernisme yang tidak lazim di masa itu. Mengingat pada masa tersebut perempuan tampil di ruang publik saja dianggap tidak lazim.
Demikian disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir merujuk sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Mukti Ali tentang fenomena gerakan perempuan Islam ‘Aisyiyah. Lahirnya Organisasi gerakan perempuan di masa itu dianggap sebagai sebuah keanehan.
“Tapi itulah satu lompatan dari ‘Aisyiyah, lompatan yang luar biasa.” Ungkap Haedar pada, Jumat (19/5) dalam acara Resepsi Milad ke-106 ‘Aisyiyah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta.
Maka tidak mengherankan jika kemudian ‘Aisyiyah bersama organisasi perempuan lintas iman pada 1928 menyelenggarakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Menurut Haedar milestone gerakan perempuan tersebut lahir dari state of mind yang tajdid.
“Dan tidak bisa dibayangkan kalau saat itu ‘Aisyiyah tidak hadir, lalu organisasi yang lain juga hadir termasuk Muslimat dan SI. Kemudian akan terjadi perubahan semacam ini,” ungkapnya.
Namun peran besar yang telah dijalankan oleh organisasi perempuan Islam Berkemajuan ini seakan dipinggirkan, kenyataan tersebut oleh Haedar Nashir disayangkan. Padahal yang dilakukan oleh organisasi gerakan perempuan di masa itu melampaui batas masanya.
Mengajak kembali pada 1926 dalam Kongres Muhammadiyah di Surabaya, ketika Nyai Siti Walidah berpidato di depan para kaum laki-laki. Menurut Guru Besar Sosiologi ini, momen tersebut adalah sejarah penting bagi perempuan Indonesia.
“Tapi kitakan melihat Nyai Walidah Dahlan melihatnya hanya sebagai istri dari Kiai Ahmad Dahlan. Padahal beliau juga seorang sosok yang memiliki karakter khas, yang sampai tahun ‘46 sebelum beliau wafat masih terus memainkan peran untuk pembaharuan.” Ungkap Haedar Nashir.
Model gerakan perempuan ‘Aisyiyah yang dilahirkan oleh Muhammadiyah, menurutnya adalah bentuk gerakan perempuan yang autentik dengan kekhasan Indonesia. Yang memiliki kesamaan dasar nilai hidup dengan bangsa Indonesia yaitu Pancasila, agama dan budaya luhur bangsa.
“Jadi kalau ada gerakan-gerakan perempuan yang copy paste dari dunia lain yang kemudian diterapkan di sini, ini kemudian tidak pas. Yang pendekatannya selalu antagonistik, mempertentangkan satu struktur dengan struktur lain; perempuan dengan laki-laki.” Tutur Haedar.
Dalam pandangan Haedar, perbedaan tidak harus kemudian dipertajam dengan saling dipertentangkan. Menurutnya, gerakan perempuan dari dunia lain erat pengaruhnya dari pandangan Marxisme dan neo-Marxisme. Termasuk di sisi yang lain, muncul gerakan antitesis dari itu, yaitu gerakan perempuan yang serba konservatif.
“Pandangan-pandangan neo-konservatif baik yang mengatasnamakan agama itu akan menjadi jebakan baru bagi gerakan perempuan, termasuk di tubuh gerakan keagamaan.” Kata Haedar.
Melihat munculnya gerakan perempuan yang serba konservatif, imbuh Haedar, tidak bisa dilepaskan dari konteks munculnya gerakan liberalisme, sekularisme, globalisasi dan lain sebagainya. Akan tetapi gerakan perempuan Islam konservatif — kembali ke masa lampau ini menjebak.
Maka dibutuhkan gerakan perempuan Islam yang moderat. Pandangan keislaman yang moderat atau tengahan sebagaimana ‘Aisyiyah, bisa berdialog dengan kelompok kanan dan kiri. Perempuan tengahan ini diharapakan mampu berbuat yang terbaik untuk kemanusiaan.
“Antara kutub-kutub ekstrim, ‘Aisyiyah harus hadir menjadi Al harakah Al washatiyah, gerakan tengahan yang memberi alternatif bukan yang konservatif.” Tutur Haedar.
Hits: 474