Abdul Gafur
Ketua Umum DPD IMM Sulawesi-Selatan
“Semua propaganda perang, semua teriakan dan kebohongan dan kebencian, selalu datang dari orang yang tidak ikut berperang” – George Orwell
Beberapa pekan terakhir, dunia internasional dipertontonkan dengan tindakan keji dan tidak berperikemanusiaan atas agresi militer yang dilakukan oleh Israel terhadap Pelestina, terkhusus di wilayah Jalur Gaza.
Serangan militer yang dilakukan oleh Israel sejak awal Mei 2021 ini sudah menewaskan ratusan warga sipil, termasuk puluhan anak – anak dan perempuan. Selain itu, telah menghancurkan ratusan gedung dan fasilitas publik, beberapa di antaranya adalah rumah sakit dan gedung tempat para jurnalis mengabarkan kejadian di sana kepada publik internasional.
Tindakan brutal Israel atas negara merdeka Palestina tercatat yang terparah dalam kurun waktu sejak 2014 yang saat itu juga menewaskan ribuan warga sipil.
Perang yang terjadi antara militer Israel dengan kelompok militant Hamas yang ada di Palestina tentu jauh dan tidak seimbang, dengan kekuatan dan kemajuan teknologi militer yang di miliki oleh Isreal dibandingkan dengan kekuatan yang dimiliki oleh Palestina di Jalur Gaza yang hanya diperkuat oleh sayap militer Al-Qassam milik partai politik Hamas.
Sehingga situasi tersebut bukan lagi menjadi perang militer, tetapi mengarah pada pembantaian masyarakat sipil yang berujung pada tindakan genosida terhadap warga Palestina demi ambisi Israel untuk menguasai tanah Palestina di bawah kekuasaannya.
Reaksi Internasional yang Diskriminatif
Sebagaimana yang kita ketahui, hingga saat ini, ribuan korban yang berasal dari masyarakat sipil – dari yang mengalami luka sampai yang meninggal, perempuan bahkan anak-anak menjadi korban atas serangan laut, darat dan udara yang membombardir wilayah Palestina.
Namun hal tersebut belum membuka mata dunia internasional, bahkan terkesan membiarkan proses dehumanisasi yang terus menerus menelan korban jiwa, yang hampir tiap detiknya berjatuhan. Lalu, di mana negara-negara yang selalu berteriak tentang hak asasi manusia? Di mana lembaga-lembaga internasional yang selalu menyuarakan hak asasi manusia itu?
Apakah HAM hanya untuk golongan tertentu saja? Hanya milik suku bangsa tertentu saja? Atau, hanya milik daripada negara negara adidaya saja?
Mengapa ketika kejahatan kemanusiaan itu terjadi di negara-negara Eropa dan Amerika media-media internasional begitu sibuk mengutuk dan meberitakan rasa duka yang dialami para korban, menekan negara atau kelompok pelaku kejahatan untuk segara berhenti.
Situasi itulah yang mengundang reaksi dunia internasional, kita menyaksikan sikap negara-negara di dunia terhadap konflik Israel dan Palestina; pada posisi tersebut beragam reaksi yang muncul, dari sinilah kita bisa mengukur seperti apa posisi negara-negara yang ada di dunia terhadap kekejaman atas kemanusiaan.
Wajah Ganda Peradaban Barat
Menarik melihat reaksi negara-negara Barat, dalam hal ini Eropa dan Amerika Serikat, serta lembaga-lembaga internasional yang selama ini mengkampanyekan berbagai isu, termasuk isu kemanusiaan dan perdamaian.
Kita menyadari dalam kurun waktu beberapa abad terakhir, ada paradigma yang kita bangun secara sadar ataupun tidak, bahwa segala sesuatu yang berasal dari barat itulah yang unggul dan terbaik. Ada invasi westernisasi terhadap beragam pemikiran, seperti diungkapkan oleh Koentjaraningrat, di mana westernisasi adalah peniruan gaya hidup orang barat yang dilakukan masyarakat secara berlebihan, pergaulan, kebiasaan, proses gaya hidup danlain sebagainya.
Aspek lain yang juga terus dikampanyekan barat ke seluruh dunia adalah soal pentingnya demokratisasi dan melidungi HAM, kemerdekaan dan juga perdamaian.
HAM yang kita yakini bersifat universal, berlaku bagi semua orang dengan berbagai ras, suku, etnik, agama dan kedudukan. Yang kemudian dipertegas oleh PBB melalui konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional di berbagai negara untuk menjamin negara tersebut melindungi HAM seluruh masyarakat internasional.
Namun sepertinya ada pengecualian untuk situasi Palestina atas konsep tersebut, karena pembantaian dan kejahatan terbuka yang dilakukan oleh Israel seolah didiamkan, dibiarkan bahkan ada kemungkinan diberi dukungan untuk terus melakukan kejahatannya.
Pemerintahan di Barat seolah menampar wajahnya sendiri, sebagai negara pemegang panji suci penegakan HAM di seluruh dunia justru memperlihatkan wajah ganda atas apa yang dikampanyekannya dengan terus mendukung apa yang dilakukan pemerintah Israel di bawah perdana menteri Benjamin Netanyahu.
Kita menyaksikan kutukan yang dilakukan negara-negara Barat jika terjadi pelanggaran HAM dalam suatu negara, bahkan tidak sedikit mereka mengeluarkan kebijakan – kebijakan yang sampai pada tindakan mengintervesi suatu negara jika mereka membiarkan pelanggaran HAM terus berlangsung. Namun sikap kontras terhadap Israel, yang dengan terang dan nyata memerangi Palestina dan menghancurkan pondasi – pondasi kemanusiaan yang kita bangun.
Seluruh kampanye itu akhirnya menyadarkan kita, bahwa Eropa dan Amerika Serikat yang mendorong demokratisasi dan penegakan HAM dalam rangka menciptakan perdamaian abadi di atas muka bumi, hanyalah kedok semata, semua bergantung pada agenda monopoli sumber daya alam dan politik serta hegemoni peradaban untuk semua negara menjadikan Barat sebagai kiblat peradaban.
Kebersenjataan yang Seharusnya
Untuk situasi Israel dan Palestina yang dalam posisi berperang, kita manyadari bahwa, peradaban manusia selama ribuan tahun tidak pernah lepas dari yang namanya perang, suatu peristiwa yang tidak kita inginkan namun tidak terhindarkan.
Oleh karena itu, harapan terkecil kita adalah setidaknya dunia internasional, khususnya di Barat bisa menjadikan dan menekankan agar hukum – hukum perang yang sah dan dibenarkan di mana telah disepakati dunia internasional bisa diterapkan jikalau memang perang tidak dapat dihindarkan. Doktrin tentang Perang yang sah pada hakikatnya adalah suatu upaya untuk membenarkah peperangan, atau suatu tindakan perang.
Tradisi perang yang sah menekankan moralitas akan penggunaan daya dalam dua aspek, yaitu kapan sebuah pihak bisa dibenarkan dalam menggunakan tingkatan bersenjatanya yakni keprihatinan tentang jus ad bellum, dan cara-cara apa yang harus dimainkan dalam menggunakan tingkatan bersenjata itu yakni keprihatinan tentang jus in bello.
Pada perkembangan yang lebih lanjut, muncul pula kategori yang ketiga yakni Jus post bellum, yang mengatur bagaimana sebuah peperangan bisa diakhiri dengan tidak sewenang-wenang dan akad perdamaian bisa dicapai, sementara penjahat-penjahat perang juga diadili.
Pada akhirnya kita semua berdoa untuk kemanusiaan kita, juga untuk kenaifan dan kemunafikan serta keserakahan kita terhadap yang membutakan mata kita dalam melihat situasi dunia yang sedang bergejolak.
Semoga kita semua tersadarkan bahwa ini bukan tentang Palestina saja, tapi ini tentang sensitifitas kemanusiaan kita sebagai seorang manusia.
Untuk semua tragedi kemanusiaan yang terjadi di seluruh penjuru dunia, kita semua mengutuk dan mengecam para pelaku kejahatan kemanusiaan apapaun jabatannya, apapaun sukunya, apapun bangsanya sehebat apapun negaranya dan apapun agamanya.
Editor: Fauzan AS
Hits: 35