MUHAMMADIYAH.OR.ID, PEKALONGAN— Pakar Teori Hukum Islam Muhammadiyah, Al-Yasa` Abubakar mengemukakan perbedaan mendasar antara konsep fikih dan syariah dalam pandangan Islam. Dalam Seminar Nasional Musyawarah Nasional (Munas) Tarjih ke-32 di Pekalongan, beliau menyoroti kesalahpahaman umum di masyarakat yang menyamakan kedua konsep tersebut.
Menurut Al-Yasa` Abubakar, masyarakat selama ini cenderung menempatkan syariah dan fikih dalam posisi yang setara, menganggap keduanya sebagai sinonim yang merujuk pada hukum Islam. Namun, dalam pandangan beliau, syariah bukanlah fikih. Syariah, menurutnya, semata-mata terdiri dari al-Quran dan al-Sunah, sementara fikih merupakan hasil pemikiran manusia yang bersumber dari kedua landasan Islam tersebut.
Dalam penjelasannya, Al-Yasa` Abubakar menyatakan bahwa konsep syariah seharusnya dipahami sebagai ajaran yang bersumber dari al-Quran dan hadis, tanpa campur tangan pemikiran manusia. Sebaliknya, fikih, menurutnya, melibatkan beragam aspek pemikiran manusia seperti fatwa, kanun, kebiasaan masyarakat, dan penelitian akademis. Dengan tegas, beliau menegaskan bahwa syariah masih murni dari ajaran Ilahi, belum tercampur dengan pemikiran manusia.
“Selama ini syariah itu dipahami al-Quran dan hadis dan fikih. Saya memahami syariah itu al-Quran dan hadis, fikih itu sudah masuk dalam ranah pemikiran, baik itu fatwa, kanun, kebiasaan masyarakat, atau penelitian akademis. Syariah itu belum tercampur dengan pemikiran manusia,” terang Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Aceh ini pada Sabtu (24/2).
Pendapat Al-Yasa` Abubakar ini menciptakan pemahaman yang lebih jelas mengenai perbedaan esensial antara fikih dan syariah. Di tengah arus kesalahpahaman yang dapat berdampak pada pemahaman masyarakat terhadap hukum Islam, penjelasan ini diharapkan dapat menggugah kesadaran akan pentingnya memahami konsep-konsep tersebut secara benar dan mendalam.
Syariah, menurut pandangan Al-Yasa` Abubakar, dianggap sebagai entitas yang tidak dapat mengalami perubahan. Setelah wafatnya Nabi Muhammad Saw, syariah dianggap telah terhenti dan dianggap sebagai ajaran yang tetap dan tidak berubah seiring waktu. Sebaliknya, fikih dinilai sangat fleksibel dan terus berkembang sepanjang waktu.
Al-Yasa` Abubakar menyoroti fakta bahwa setelah wafatnya Nabi Saw, kasus fikih terus bergulir dan mengalami perubahan sesuai dengan konteks dan kebutuhan masyarakat. Beliau menegaskan pentingnya pembaharuan dalam fikih sebagai respons terhadap dinamika zaman. Salah satu isu yang diangkat oleh Al-Yasa` Abubakar adalah perluasan cakupan fikih terkait badan hukum.
Dalam pandangannya, isu ini menjadi krusial di era kontemporer, di mana subyek hukum tidak hanya terbatas pada individu manusia, tetapi juga melibatkan badan hukum. Beliau menunjukkan bahwa perubahan budaya dan kemajuan masyarakat modern berpotensi memengaruhi struktur hukum Islam. Oleh karena itu, perubahan dalam fikih dianggap perlu sebagai upaya menyesuaikan hukum Islam dengan realitas kontemporer.
Pemikiran Al-Yasa` Abubakar memberikan panggung untuk dialog dan pembahasan lebih lanjut mengenai relevansi Hukum Islam dalam konteks zaman. Dengan mengakui fleksibilitas fikih dan pentingnya pembaharuan, pandangan ini merangsang pemikiran kritis untuk menjaga keberlanjutan dan relevansi hukum Islam dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.