MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA – Di Indonesia, penentuan awal Ramadan dan Idul Fitri kerap jadi pembicaraan publik. Salah-satunya berkaitan dengan perbedaan penetapan 1 ramadan dan 1 Syawal akibat penggunaan metode dan kriteria hilal yang juga berbeda. Muhammadiyah dikenal menggunakan metode hisab (menghitung peredaran bulan). Sedangkan NU atau Pemerintah melalui Kemenag menggunakan rukyat (melihat peredaran bulan).
Perbedaan penanggalan Ramadan dan Idul Fitri terjadi karena umat muslim belum memiliki kesadaran terkait kalender global Hijriyah. Dalam buku Agama untuk Peradaban: Membumikan Etos Agama dalam Kehidupan (2019), Komaruddin Hidayat menulis kritik mantan Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla menganggap perbedaan ini sebenarnya bersifat inkonsisten, terutama bagi pihak yang enggan memakai sistem hisab. Umat muslim belum satu suara terkait penggunaan metode hisab untuk penentuan awal Ramadan dan Idulfitri. Sementara di sisi lain, sudah saling sepakat terkait tanggal tahun baru Hijriyah yang didasarkan pada sistem kalender (hisab).
Bagaimanakah awal mula Muhammadiyah dengan penggunaan metode hisab? Dukungan Kesultanan Yogyakarta dan apresiasi KH. Ahmad Dahlan terhadap ilmu pengetahuan adalah kunci utama. Berikut kisahnya.
Muhammadiyah Konsisten Gunakan Metode Hisab
Di kalangan umat Islam Indonesia, kesadaran penggunaan kalender Hijriyah secara konsisten dipelopori oleh Muhammadiyah lewat pendirinya, yaitu Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Sebagai seorang modernis, Kiai Ahmad Dahlan memahami bahwa ilmu sains dan teknologi sejatinya memudahkan umat manusia dalam kehidupan di dunia. Sebagai reformis, beliau ingin umat Islam tidak mendikotomikan antara agama dan dunia.
Karena itu, kesadaran terhadap penggunaan Kalender (sistem hisab) dibawa beliau sepaket dengan berbagai misi reformis lainnya pelurusan arah kiblat yang terjadi sepulang beliau dari ibadah haji di tahun 1897 dan diperjuangkan hingga tahun 1898.
Sejarah Metode Hisab dan Perbedaan Penanggalan
Melihat kecerdasan dan visi tajdid Kiai Ahmad Dahlan dengan gagasan-gagasan yang melampaui zamannya, Sultan Hamengkubuwana ke VII (1839-1931) mengutus beliau untuk kembali ke Makkah guna melakukan ibadah haji yang kedua pada tahun 1903-1904 dengan biaya penuh dari Kesultanan Yogyakarta.
Menurut intelektual UMY, Ridho Al-Hamdi (28/8/2021), Sri Sultan ingin Kiai Ahmad Dahlan menemui para ulama dan sarjana Islam dari berbagai belahan dunia di Makkah untuk menimba ilmu sebagai bekal berjuang melawan misi Kristenisasi Pulau Jawa dari kolonial yang masif pada saat itu.
Di Makkah, Kiai Ahmad Dahlan berhasil menemui murid Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha. Selain itu, beliau menimba ilmu langsung dari ulama besar seperti Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawiy yang mempertajam gagasan visionernya.
Adapun penguasaan terhadap ilmu Falak, geografi dan astronomi yang menjadi dasar metode hisab, disempurnakan Kiai Ahmad Dahlan setelah belajar kepada Raden Haji Dahlan Semarang, Syekh Jamil Jambek Bukittinggi, dan Sayid Usman al-Habsyi Jakarta.
Setelah Muhammadiyah berdiri, pada masa itu umat muslim di Yogyakarta, termasuk Kesultanan Yogyakarta masih berpegang pada kalender Jawa (Aboge, Alif-Rebo-Wage), yaitu sebuah perhitungan Jawa yang telah digunakan oleh para wali dan disebarluaskan oleh Raden Rasyid Sayid Kuning.
Dari penguasaannya terhadap metode hisab dan falak, Kiai Ahmad Dahlan mendapati perhitungan tanggal Hijriyah hari-hari besar Islam yang rutin digelar Kesultanan seperti Grebeg Maulid, Grebeg Syawal, dan Grebeg Besar Iduladha berbeda dengan perhitungan kalender Aboge.
“Hari raya Idulfitri jatuh esok hari, sedangkan Aboge besok lusa.” Karenanya, Kiai Ahmad Dahlan pun menghadap ke Sultan Hamengkubuwono VII untuk memaparkan temuannya sekaligus meminta izin agar Muhammadiyah dibolehkan berbeda dalam penentuan tanggal perayaan hari-hari besar Islam. Demikian catat Ahmad Faizin Karimi dalam Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad Dahlan (2012).
Dukungan Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada Metode Hisab
Sebagai seorang abdi dalem yang sangat njawani (kental adat Jawanya), Kiai Ahmad Dahlan menemui Sri Sultan Hamengkubuwono VII pada malam hari ditemani oleh pimpinan penghulu Keraton, K.H. Muhammad Kamaludiningrat (Kiai Sangidu).
Junus Salam dalam K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya (2009) menulis bahwa saat itu Kiai Ahmad Dahlan diterima oleh Sultan dalam ruangan yang gelap gulita sehingga beliau yang mengira hanya berdua saja dapat menyampaikan argumennya dengan leluasa.
Namun selesai berargumentasi, lampu ruangan dinyalakan sehingga nampaklah di ruangan itu ternyata Sri Sultan didampingi oleh seluruh jajaran Kesultanan. Dengan penuh kebijaksanaan, Sri Sultan memberikan izin: “Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, sedang Grebeg di Yogyakarta tetap bertradisi menurut hitungan Aboge”.
Muhammadiyah dan Sistem Penanggalan Jawa, Hijriyah dan Masehi
Dari kejadian itu, maka Muhammadiyah diizinkan menyelenggarakan Salat Idulfitri lebih dahulu, termasuk menggunakan fasilitas Masjid Agung Yogyakarta untuk menggelar Salat Id. Sementara pihak Keraton tetap berpegang pada kalender Aboge yang berbeda dalam penentuan awal Syawal.
Mengutip Muhammadiyah Jawa karya Najib Burhani, Media Zainul Bahri dalam Perjumpaan Islam Ideologis & Islam Kultural Sejarah Kritis (2022) menyebut bahwa Muhammadiyah setelah kejadian itu itu memakai tiga Kalender, yaitu Kalender Jawa, Kalender Hijriyah, dan Kalender Masehi.
Akan tetapi, penggunaan Kalender Hijriyah dan hisab sebagai pedoman utama dalam penentuan hari-hari besar keagamaan baru direkomendasikan kepada seluruh warga Muhammadiyah pasca Kongres Muhammadiyah ke-26 di Surabaya pada tahun 1926 atau tiga tahun pasca wafatnya Almaghfurlahu Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Naskah: Afandi
Editor: Fauzan AS