MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Sepatutnya Indonesia bersyukur karena menjadi negara yang bhinneka tunggal ika. Berawal dari kerajaan-kerajaan yang beragam suku, agama, ras, dan golongan. Meski beragam, Indonesia telah membuktikan bahwa hampir satu abad lamanya dapat mempertahankan kebangsaan dan nasionalismenya.
Hal tersebut disampaikan Ketua Umum Nasyiatul Aisyiyah Diyah Puspitarini pada Pengajian Umum PP Muhammadiyah, Jum’at (15/10) malam.
“Pada kenyataannya ketika kita sudah menjalani hampir satu abad usia kemerdekaan Indonesia. Apakah nilai nasionalisme dan keberagamaan ini masih cukup aman-aman saja?” tutur Diyah.
Dijelaskan Diyah bahwa berdasarkan riset yang dilakukannya ada 58,15% pelajar dan mahasiswa yang berpandangan radikal, 51,1% mereka intoleran terhadap mereka yang seagama. Kemudian 34,3% intoleran terhadap pemeluk agama yang lain.
“Jadi mereka masih menganggap bahwa satu agama saja mungkin berbeda beda. Berbeda beda fraksi, berbeda beda pemahaman, mungkin kalo kita Muhammadiyah, ada Nahdlatul Ulama, kemudian ada persis, ada lain sebagainya begitu,” tutur Diyah.
Dari data tersebut kita melihat bahwasannya antar pemeluk seagama masih ada yang intoleran dan itu yang terjadi juga pada sesama muslim.
“Jadi kalo kita melihat apakah demikian juga yang terjadi di masyarakat umum? Kalau lingkupnya ini adalah lingkup Lembaga Pendidikan sepertinya kita juga harus tetap memberikan perhatian yang lebih ya, karena pendidikan selama ini dipandang sebagai salah satu sarana yang sangat efektif untuk menerapkan dan juga memberikan nilai nilai keberagamaan dan nasionalisme,” ujarnya.
Meski begitu, dari data yang disajikan Diyah, Indonesia masih memiliki harapan karena masih ada yang berpikiran moderat sebanyak 74%. Nilai ini menunjukkan mereka juga masih dapat menerima perbedaan, bertoleransi baik kepada internal atau eksternalnya.
“Kemudian ada sebuah data lagi 25% siswa dan 21% guru menyatakan Pancasila tidak relevan lagi. Ini menjadi menarik karena kita akhir-akhir ini sering sekali mendengar bahwa jargon-jargon saya Indonesia, saya Pancasila di kalangan anak-anak muda, tapi nyatanya ada sebagian anak-anak muda kita bahkan gurunya juga yang menyatakan bahwa ternyata Pancasila tidak relevan,” jelasnya.
“Kemudian 52% siswa setuju dengan kekerasan demi solidaritas agama, ini sangat memprihatinkan karena lebih dari 50%, kemudian 14% di antara responden masih membenarkan serangan bom. Kita bersyukur akhir-akhir ini Indonesia tidak ada ya aktivitas pengeboman kembali, namun tentunya ini kita tetap harus waspada karena yang namanya radikalisme, intoleransi itu masih cukup tinggi di Indonesia,” lanjut Diyah.
Lunturnya Nasionalisme di Kalangan Anak Muda
Diyah menyebutkan setidaknya ada lima hal yang menyebabkan lunturnya nasionalisme di kalangan anak muda;
Pertama, modernisasi. Modernisasi, globalisasi menjadikan anak-anak muda tidak cukup akrab dengan bangsanya sendiri, tidak cukup bangga dengan bangsanya sendiri, dan.tidak mengerti negaranya sendiri.
Kedua, tidak paham Pancasila dan Dasar Negara.
Ketiga, ideologi negara bersifat dogmatif. Ideologi yang hanya bersifat dihafal saja sehingga anak-anak tidak memahami nilai-nilai sebenarnya ideologi negara tersebut.
Keempat, tidak memahami sejarah bangsa. Menurut Diyah sejarah bangsa ini sejatinya menjadi penting. Dari awal ketika belajar di Sekolah kita selalu diajarkan tentang pahlawan-pahlawan bangsa dan nasionalisme. Tapi hari ini apakah pengajaran itu membekas pada para siswa?
Kelima, praktik nasionalisme yang masih formalitas. “Jadi mungkin anak-anak muda sekarang ini melihat bahwa nasionalisme ya hanya sekedar upacara bendera atau mungkin menghadiri forum-forum formal saja tapi nasionalisme yang nyata yang harus mereka perlihatkan itu bukan nasionalisme yang semestinya,” kata Diyah.