Persoalan hukum fikih seputar salat memang selalu menarik untuk dikaji, terlebih ketika berkaitan dengan kondisi-kondisi khusus yang menimpa seorang muslim. Salah satunya adalah pertanyaan di bawah ini:
Bagaimana hukum meninggalkan salat karena koma? Apakah wajib diganti (qaḍā’) atau dibayar dengan fidyah?
Dalam pandangan Islam, salat merupakan kewajiban utama yang tidak gugur dalam keadaan apa pun. Bahkan orang sakit tetap diperintahkan melaksanakannya sesuai kemampuan. Hal ini ditegaskan dalam hadis Nabi kepada ‘Imrān bin Ḥuṣain:
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ [رواه البخاري]
“Salatlah dengan berdiri. Jika tidak mampu, maka dengan duduk. Jika tidak mampu, maka dengan berbaring.” [HR. al-Bukhārī].
Hadis ini menunjukkan tidak ada kompensasi untuk meninggalkan salat. Selama masih sadar, seorang muslim wajib melaksanakannya dengan cara apa pun sesuai keadaan: berdiri, duduk, berbaring, bahkan dengan isyarat.
Apakah Salat Bisa Diqadha atau Ditebus Fidyah?
Majelis Tarjih menegaskan bahwa tidak ada ketentuan syar‘i yang membolehkan mengganti salat dengan fidyah atau mewakilkannya kepada orang lain. Hadis ‘Aisyah menjadi penegasan:
فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ [رواه مسلم]
“Kami diperintahkan mengqaḍā’ puasa, tetapi tidak diperintahkan mengqaḍā’ salat.” [HR. Muslim].
Demikian pula sabda Nabi:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه [رواه مسلم]
“Apabila manusia meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak salih yang mendoakannya.” [HR. Muslim].
Artinya, salat adalah tanggung jawab pribadi yang tidak bisa dipindahkan kepada orang lain, baik dengan qaḍā’ oleh ahli waris maupun dengan fidyah.
Bagaimana dengan orang koma? Islam membedakan antara orang sakit yang masih sadar dengan orang yang kehilangan kesadaran total. Dalam sebuah hadis, Nabi menyebutkan:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَعْقِل [رواه مسلم]
“Diangkat pena (beban hukum) dari tiga: orang tidur hingga bangun, anak kecil hingga baligh, dan orang gila hingga berakal kembali.” [HR. Muslim].
Kondisi koma, yang dalam istilah medis berarti hilangnya kesadaran dalam waktu lama, termasuk kategori raf‘ul-qalam (tidak terkena beban hukum). Karena itu, orang dalam keadaan koma tidak wajib melaksanakan salat, dan tidak ada kewajiban mengqaḍā’ setelah sadar dari koma yang panjang. Ia baru berkewajiban salat kembali ketika sudah pulih dan sadar penuh.
Jika seseorang meninggal dunia dalam keadaan koma, maka tidak ada kewajiban bagi ahli warisnya untuk mengqaḍā’ atau membayarkan fidyah. Yang dapat dilakukan keluarga hanyalah membayarkan utangnya jika ada, mendoakan dan memohonkan ampunan kepada Allah.
Dari berbagai dalil dan penjelasan ulama tarjih Muhammadiyah, dapat disimpulkan:
- Salat tidak bisa diganti dengan fidyah atau diwakilkan kepada orang lain.
- Orang yang meninggalkan salat karena tidur atau lupa wajib melaksanakannya segera ketika sadar atau ingat.
- Orang yang meninggalkan salat karena koma tidak dibebani kewajiban qaḍā’, karena saat itu ia termasuk golongan yang terangkat pena (tidak dibebani taklif).
- Jika meninggal dalam keadaan koma, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara sebagaimana ditegaskan dalam hadis, dan tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk mengganti salatnya.
Dengan demikian, bagi seorang muslim, menjaga salat selama masih ada kesadaran adalah kewajiban mutlak. Namun, ketika Allah menakdirkan hilangnya kesadaran seperti koma, maka syariat memberi keringanan: tidak ada kewajiban qaḍā’ maupun fidyah.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Fidyah Shalat Menurut Tarjih”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 16 Tahun 2019.