MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Episode terbaru Lensamu Podcast pada Kamis (07/08) fokus membahas buku Fikih Perlindungan Anak. Bersama Yasser Abdad, Wakil Bendahara Majelis Tarjih dan Tajdīd Pimpinan Pusat Muhammadiyah Ustazah Lailatis Syarifah menjadi narasumbernya.
Ustazah Lailatis menjelaskan bahwa penyusunan buku ini berangkat dari keprihatinan mendalam terhadap kondisi anak-anak di Indonesia, khususnya terkait kekerasan fisik, psikis, seksual, serta keterlibatan anak dalam konflik hukum.
Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) tahun 2024, tercatat 28.831 kasus kekerasan terhadap anak, di mana 24.999 korbannya adalah anak perempuan. Angka ini menunjukkan tren peningkatan yang memprihatinkan.
“Data ini menjadi alarm bagi kami. Anak adalah amanah, dan Al-Qur’an menegaskan agar kita tidak meninggalkan generasi dalam keadaan lemah—baik secara fisik, psikis, iman, maupun finansial,” ujarnya, merujuk pada salah satu ayat yang menjadi dasar penyusunan buku tersebut.
Sebagai karya yang disebut “buku babon”, Fikih Perlindungan Anak tidak hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar, tetapi juga solusi praktis (al-aḥkām al-far‘iyyah) dalam isu-isu kekinian seperti kekerasan seksual, stunting, hingga eksploitasi anak.
Hak Anak Mendapatkan Orang Tua yang Saleh dan Salehah
Salah satu gagasan kunci yang disampaikan Ustazah Lailatis adalah bahwa hak anak dimulai bahkan sebelum mereka dilahirkan, yakni hak untuk memiliki orang tua yang saleh dan salehah. Memilih pasangan hidup yang baik agamanya adalah bentuk awal tanggung jawab terhadap generasi mendatang.
“Hak anak dimulai sebelum ia lahir, yaitu hak untuk mendapatkan orang tua yang saleh dan salehah,” tegasnya.
Menurut Ustazah Lailatis, orang tua saleh dan salehah tidak hanya menjalankan peran spiritual, tetapi juga menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi tumbuh kembang anak baik secara fisik, emosional, maupun rohani.
Anak-anak juga perlu dikenalkan nilai kesetaraan (al-musāwah) antara laki-laki dan perempuan. Dalam Al-Qur’an, istilah anak digambarkan dengan kata ibn, dzurriyyah, dan walad, yang menunjukkan bahwa mereka adalah potensi kehidupan yang luhur dan harus dibina dengan penuh tanggung jawab.
“Anak bukan properti orang tua yang bisa dibentuk sesuka hati. Mereka adalah amanah Allah yang harus dibimbing agar menjadi hamba dan khalīfah di bumi,” ucapnya.
Diskusi juga menyoroti realitas kekerasan terhadap anak yang kerap terjadi justru di lingkungan yang seharusnya aman, seperti rumah, sekolah, dan bahkan institusi keagamaan.
Dalam konteks ini, buku Fikih Perlindungan Anak menawarkan langkah-langkah preventif, seperti pemisahan tempat tidur antara anak laki-laki dan perempuan sejak usia tujuh tahun, pembiasaan adab mengetuk pintu kamar orang tua, serta perlunya kebijakan perlindungan anak di lembaga pendidikan dan organisasi sosial-keagamaan.
Membangun Komunikasi Terbuka Orang Tua-Anak
Ustazah Lailatis menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak. Anak yang kritis dan suka bertanya bukan berarti nakal, melainkan menunjukkan kebutuhan untuk memahami dunia.
“Jika tidak dijawab oleh orang tuanya, mereka akan mencari tahu sendiri, dan itu bisa mengarah pada perilaku berisiko,” jelasnya.
Masalah pengasuhan juga tidak lepas dari ketimpangan peran antara ayah dan ibu. Di banyak keluarga, peran ayah terbatas pada pencari nafkah. Padahal, menurut Ustazah Lailatis, Islam meneladankan peran aktif ayah dalam kehidupan anak.
Ia mencontohkan praktik latte dad di negara-negara Skandinavia, di mana ayah terlibat langsung dalam merawat anak.
“Rasulullah adalah teladan latte dad. Beliau menggendong cucunya saat salat berjamaah. Itu bukan simbol kasih sayang biasa, melainkan bentuk nyata keterlibatan ayah,” katanya.
Dalam konteks Muhammadiyah, ia mendorong para aktivis untuk melibatkan anak-anak dalam kegiatan dakwah, seperti yang dilakukan oleh Nasyiatul ‘Aisyiyah.
“Anak harus menyaksikan orang tuanya menjalankan peran sebagai khalīfah, tidak hanya di rumah, tapi juga di masyarakat,” lanjutnya.
Yasser Abdad menambahkan refleksi terkait paradigma umum masyarakat dalam memaknai kesuksesan anak. Menurutnya, terlalu banyak orang tua yang menilai keberhasilan anak hanya dari pencapaian akademik, seperti diterima di perguruan tinggi negeri, tanpa mempertimbangkan potensi lain seperti kewirausahaan atau kerja mandiri.
Ustazah Lailatis mengingatkan bahwa setiap anak memiliki keistimewaan. “Orang tua adalah fasilitator, bukan pemilik cita-cita anak. Keberhasilan anak adalah amanah, bukan prestasi pribadi,” tegasnya.
Ia juga mengkritisi pendekatan pendidikan yang terlalu menekan anak, mengutip kasus tragis seorang anak berprestasi yang bunuh diri karena tekanan orang tua.
Dalam Islam, prinsip lā taziru wāziratun wizra ukhrā menegaskan bahwa seseorang tidak memikul kesalahan orang lain. Maka, keberhasilan dan kegagalan anak tidak bisa sepenuhnya dibebankan pada atau diklaim oleh orang tua.
“Kita wajib memberikan yang terbaik, tapi hasilnya tetap dalam kuasa Allah,” tuturnya.
Diskusi ditutup dengan seruan untuk mengubah cara pandang terhadap anak. Anak bukan objek kepemilikan, melainkan subjek yang harus didengarkan, dipahami, dan dibimbing dengan kasih sayang serta adab.
“Setiap anak istimewa. Tugas kita adalah memastikan mereka tumbuh sebagai manusia utuh yang menjalankan misinya sebagai hamba Allah dan khalīfah di bumi,” pungkas Ustazah Lailatis.