Dalam ibadah salat, kesucian merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi. Baik suci badan, pakaian, maupun tempat salat, semuanya menjadi bagian dari syarat sah salat yang tidak boleh diabaikan.
Namun dalam praktiknya, muncul pertanyaan yang cukup sering: bagaimana bila saat hendak atau sedang salat, muncul keraguan apakah pakaian yang dikenakan terkena najis atau tidak? Apakah salatnya tetap dilanjutkan, atau harus dibatalkan dan diulang?
Pertanyaan semacam ini sebenarnya tidak sekadar teknis. Ia menyentuh prinsip-prinsip mendasar dalam fikih. Karena itu, penting untuk memahami kasus ini secara utuh dan tidak tergesa-gesa menyimpulkan.
Prinsip yang Perlu Diperhatikan dalam Memandang Najis
Pertama, ketika seseorang mengetahui secara pasti bahwa ada najis di tubuh, pakaian, atau tempat salat sebelum salat dimulai, maka wajib baginya untuk membersihkannya terlebih dahulu. Jika tidak, salatnya tidak sah karena tidak memenuhi syarat. Namun, cara pembersihannya tergantung pada jenis najisnya.
Misalnya, jika najisnya ringan seperti air kencing bayi yang belum makan selain ASI yang dalam fikih disebut najis mukhaffafah maka cukup diperciki air hingga basah. Jika najisnya termasuk mutawassithah seperti kotoran ayam, maka najisnya dibersihkan terlebih dahulu lalu disiram air. Sedangkan jika najisnya berat seperti jilatan anjing (najis mughalazhah), maka harus dicuci tujuh kali, salah satunya menggunakan tanah atau bahan yang serupa.
Namun, berbeda halnya jika seseorang sudah berwudu dan bersiap salat, lalu muncul keraguan tentang kesucian pakaiannya. Dalam hal ini, tidak serta-merta ia wajib membatalkan salat. Fikih menetapkan kaidah penting:
الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ
“Asal sesuatu tetap sebagaimana keadaannya semula.”
Artinya, selama tidak ada bukti kuat bahwa pakaian itu benar-benar terkena najis, maka statusnya tetap dianggap suci. Keraguan semata tidak cukup untuk menggugurkan hukum asal. Maka salat tetap boleh dilanjutkan.
Kondisi Ketika Terkena Najis Pada Perkara yang Bisa Dilepas
Lain halnya bila seseorang sedang dalam salat lalu mendapati najis pada bagian pakaian yang masih mungkin dilepas, seperti sandal, peci, atau surban. Maka dalam kondisi demikian, salat tetap sah selama najis itu segera dihilangkan.
Nabi Saw sendiri pernah mengalami hal serupa. Dalam hadis riwayat Ahmad disebutkan:
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَخَلَعَ النَّاسُ نِعَالَهُمْ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِمَ خَلَعْتُمْ نِعَالَكُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ رَأَيْنَاكَ خَلَعْتَ فَخَلَعْنَا قَالَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهَا فَإِنْ رَأَى بِهَا خَبَثًا فَلْيُمِسَّهُ بِالْأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا [رواه أحمد]
“Dari Abu Sa’id al-Khudriy (diriwayatkan) bahwasannya Nabi saw salat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: Mengapa kalian melepas sandal? Mereka menjawab: Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, ” beliau bersabda: “Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu melihat apakah ada kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke tanah, setelah itu hendaknya ia salat dengan mengenakan keduanya.” [HR. Ahmad].
Nabi Saw saat salat melepas sandalnya. Para sahabat ikut melepas sandal mereka. Ketika salat usai, Nabi bertanya mengapa mereka melepas sandal. Mereka menjawab karena melihat beliau melakukannya. Nabi Saw menjelaskan bahwa Jibril telah memberitahunya bahwa pada sandal itu ada najis, dan beliau pun langsung melepasnya. Lalu beliau mengajarkan, jika seseorang hendak ke masjid, hendaknya membalik sandalnya untuk melihat apakah ada najis. Jika ada, cukup digosokkan ke tanah, lalu ia tetap bisa salat mengenakan sandal tersebut.
Pengecualian Hukum saat Kondisi Tidak Memungkinkan
Namun, apabila najis itu berada di bagian pakaian yang tidak memungkinkan untuk segera dilepas, seperti baju, celana, atau sarung, maka salatnya wajib dibatalkan. Setelah najis dibersihkan, salat harus diulang karena syarat kesucian tidak terpenuhi.
Dalam hal ini, keberlangsungan salat tidak dapat dipertahankan karena tidak ada cara untuk menghilangkan najis di tengah-tengah pelaksanaan.
Berbeda pula keadaannya bila seseorang baru mengetahui keberadaan najis setelah salat selesai dilakukan. Maka dalam hal ini, salatnya tetap sah dan tidak perlu diulang. Sebab, dalam hukum Islam, tidak ada kewajiban atas sesuatu yang tidak diketahui saat itu.
Hal ini dianalogikan dengan hadis tentang sahabat yang salat dengan tayamum karena tidak menemukan air, lalu baru menemukan air setelah salat. Nabi Saw tidak memerintahkan untuk mengulang salatnya.
Maka mafhum muwafaqah dari hadis ini memberi pemahaman bahwa ketidaktahuan terhadap najis hingga salat selesai bukanlah alasan untuk mengulang ibadah.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, “Hukum Mengenakan Pakaian Terkena Najis Ketika Shalat”, dalam Majalah Suara Muhammadiyah No 15 Tahun 2020.