MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA – Hubungan antara Al-Qur’an dan sains menjadi topik yang terus memicu diskusi. Topik ini menghasilkan pandangan yang beragam tentang apakah keduanya saling bertentangan, berdiri sendiri, atau justru saling melengkapi.
Dalam perspektif integratif, Al-Qur’an dipandang memiliki lapisan makna yang luas, yang dapat dipahami melalui pendekatan ilmiah modern tanpa mengesampingkan esensi spiritualnya. Pendekatan ini mendorong umat Islam untuk merenungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan keterbukaan terhadap pengetahuan sains, sehingga memperkaya pemahaman dan mendorong daya kritis.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, M. Syifa Amin Widigdo, dalam monolog di kanal Wonderhome Library pada Sabtu (12/07).
Mengacu pada buku Islam dan Sains Modern karya Nidhal Guessoum, seorang akademisi Aljazair dari University of Sharjah yang pernah bekerja di NASA, Syifa memaparkan dua pendekatan utama dalam memahami hubungan Al-Qur’an dan sains: ijaz ilmi (kemukjizatan saintifik) dan tafsir ilmi (penafsiran saintifik).
Syifa menjelaskan bahwa pendekatan ijaz ilmi meyakini Al-Qur’an mengandung fakta-fakta saintifik yang telah ada sejak diturunkan dan baru ditemukan oleh sains modern belakangan. Pendekatan ini, yang dipopulerkan oleh tokoh seperti Maurice Bucaille dan Zaghlul An-Najjar, sering kali menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tekstual untuk mencocokkan dengan temuan ilmiah.
Sebagai contoh, ayat dalam Surah Al-Qamar tentang “bulan terbelah” dikaitkan dengan foto NASA yang menunjukkan lekukan di permukaan bulan, yang dianggap sebagai bukti kebenaran Al-Qur’an.
Namun, menurut Guessoum, pendekatan ini berisiko karena cenderung memaksakan tafsiran tunggal dan mengabaikan kompleksitas penjelasan ilmiah, seperti fakta bahwa lekukan bulan disebabkan oleh lava kuno, bukan keterbelahan literal.
Sebaliknya, pendekatan tafsir ilmi memandang Al-Qur’an memiliki lapisan makna yang dapat dipahami sesuai latar belakang pengetahuan, termasuk sains modern.
“Al-Qur’an tidak hanya berbicara pada satu makna, tetapi memiliki level makna yang bisa diakses oleh berbagai kalangan, dari ilmuwan hingga masyarakat awam,” ungkap Syifa.
Pendekatan ini mendorong penggunaan metode ilmiah untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an tanpa menganggap tafsiran sebagai kebenaran final, sehingga tetap membuka ruang bagi penelitian dan analisis kritis.
Syifa mengutip pengalaman Guessoum yang menggambarkan ketimpangan perhatian terhadap sains dan hafalan Al-Qur’an di sebuah sekolah di Uni Emirat Arab pada 2006-2007. Dalam pameran sains, hanya sedikit siswa dan orang tua yang hadir, dengan anggaran sekitar 1.000 dolar AS. Sebaliknya, kompetisi tahfiz Al-Qur’an menarik ratusan orang tua, pejabat, dan media, dengan anggaran 20.000 dolar AS.
“Ini menunjukkan kurangnya apresiasi terhadap sains di kalangan masyarakat, padahal Al-Qur’an sendiri mendorong kita untuk berpikir dan merenung,” ujar Syifa.
Ia menambahkan bahwa hafalan Al-Qur’an tanpa pemahaman mendalam dapat mematikan daya kritis, sebagaimana dialami Guessoum saat mahasiswanya menentang penjelasan kosmologi modern dengan tafsiran tekstual ayat Al-Qur’an.
Menurut Syifa, pendekatan tafsir ilmi lebih relevan karena mendorong umat Islam untuk menjadi saintis sejati, seperti ilmuwan Muslim peraih Nobel seperti Abdus Salam, yang tidak sekadar mencari justifikasi Al-Qur’an untuk temuan sains, tetapi menggunakan sains untuk memperkaya pemahaman ayat-ayat suci.
“Semakin kita merenungi Al-Qur’an, semakin kita temukan pencerahan baru. Ini bukan soal membuktikan Al-Qur’an benar dengan sains, tetapi bagaimana sains membantu kita memahami kebesaran Allah melalui ayat-ayat-Nya,” tegas Syifa.
Ia mengakhiri diskusi dengan mengajak audiens untuk memilih pendekatan yang lebih meyakinkan: apakah ijaz ilmi yang mencari fakta saintifik dalam Al-Qur’an, atau tafsir ilmi yang melihat Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi yang dinamis dan terbuka untuk penafsiran berbasis ilmu pengetahuan.
“Marilah kita baca dan renungi Al-Qur’an dengan keterbukaan, sehingga kita tidak hanya menjadi penghafal, tetapi juga pemikir kritis yang mampu menghubungkan agama dan sains secara harmonis,” tutupnya.