MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat ini tengah mengupayakan penyelesaian Tafsir at-Tanwir. Karya tafsir kolektif ini dirancang untuk menjangkau seluruh 30 juz Al-Qur’an dan disusun secara tematis.
Dalam Lensamu Podcast pada Kamis (12/12), Miftah Khilmi Hidayatulloh, anggota Divisi Kajian Al-Qur’an dan Hadis, memaparkan tentang progres dan filosofi di balik penyusunan tafsir ini.
“Al-Qur’an mengajarkan kita untuk bermusyawarah dalam membahas sebuah perkara, termasuk menafsirkan Al-Qur’an itu sendiri,” ujar tim editor Tafsir at-Tanwir ini.
Miftah menegaskan bahwa pendekatan kolektif dalam penafsiran ini mencerminkan semangat musyawarah yang diajarkan oleh Al-Qur’an dan menjadi ciri khas Muhammadiyah dalam mengelola berbagai persoalan.
Penyusunan Tafsir at-Tanwir sebenarnya sudah dimulai sejak 2013 melalui publikasi berkala di Majalah Suara Muhammadiyah. Menurut Miftah, pemikiran untuk merumuskan tafsir ini bahkan telah muncul sebelumnya.
“Salah satu alasannya adalah untuk menjawab kebutuhan umat Islam masa kini,” jelasnya. Al-Qur’an, menurut Miftah, relevan di setiap zaman, sehingga diperlukan pengembangan tafsir yang mampu merespons problematika kekinian tanpa meninggalkan referensi klasik.
Dalam diskusi tersebut, Miftah juga mengungkapkan tahapan panjang dalam penyusunan tafsir ini, mulai dari pemilihan penulis, halaqah pentemaan, hingga revisi dan penyuntingan.
“Prosesnya memang cukup panjang. Dari pentemaan, penulisan, revisi, hingga konferensi mufasir, semua dilakukan untuk memastikan hasilnya berkualitas,” katanya. Saat ini, Tafsir at-Tanwir telah mencapai tahap penulisan untuk 25 juz dan akan terus dilanjutkan hingga selesai.
Ketika ditanya tentang alasan Muhammadiyah memilih pendekatan kolektif, Miftah menegaskan bahwa hal ini sejalan dengan tradisi organisasi Muhammadiyah yang mengedepankan kepemimpinan kolektif kolegial.
“Muhammadiyah memiliki tradisi bermusyawarah, termasuk dalam memahami dan menafsirkan Al-Qur’an. Inilah yang kami terapkan dalam Tafsir at-Tanwir,” ujarnya.
Tantangan dalam mengelola beragam pemikiran penulis juga menjadi sorotan. Menurut Miftah, pendekatan kolektif ini justru memperkaya tafsir dengan berbagai sudut pandang.
“Setiap kepala memiliki pemikirannya, tetapi justru di sini letak kehebatan Tafsir at-Tanwir. Perbedaan pendapat diolah menjadi karya tafsir yang utuh dan sistematis,” jelasnya.
Diskusi juga menyinggung pentingnya konferensi mufasir sebagai forum untuk menjaring para pakar tafsir Muhammadiyah. Konferensi pertama yang digelar di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) tahun lalu dinilai berhasil, dan konferensi kedua akan dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Prof Dr HAMKA pada Jumat-Ahad (13-15/12) untuk memperluas partisipasi.
Melalui Tafsir at-Tanwir, Muhammadiyah berupaya menghadirkan tafsir Al-Qur’an yang relevan dengan tantangan zaman, tanpa mengesampingkan khazanah tafsir klasik. Sebagai organisasi yang telah berusia lebih dari satu abad, langkah ini menunjukkan komitmen Muhammadiyah dalam memberikan kontribusi signifikan bagi umat Islam.
“Kami berharap tafsir ini tidak hanya menjadi referensi internal Muhammadiyah, tetapi juga memberikan manfaat luas bagi umat Islam,” ucap Miftah.