MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Dalam Konferensi Mufasir Muhammadiyah II yang digelar di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA pada Jumat (13/12), Muhammad Quraish Shihab memaparkan pemikiran mendalam tentang perkembangan metode tafsir, terutama tafsir maqasidi. Menurut pakar tafsir ini, tafsir Al-Qur’an terus berkembang seiring perubahan kebutuhan masyarakat.
“Setelah tafsir bil ma’tsur lahir tafsir bil ra’yi yang mempunyai ragam bermacam-macam. Corak dan penekanan pada penafsiran pun berkembang,” jelas Quraish Shihab. Ia menyebutkan bahwa tafsir bil ra’yi melahirkan penekanan yang beragam, seperti persoalan kemasyarakatan, bahasa, dan sejarah. Namun, ia juga mengingatkan adanya risiko tafsir yang melampaui batas atau yang terlalu membatasi diri.
Quraish Shihab menyoroti lahirnya tafsir maudhu’i atau tematik, yang berangkat dari ide pertanyaan manusia. “Idenya adalah apa yang ingin Anda tahu tanyakan pada Al-Qur’an,” ungkapnya, mengutip pesan Sayyidina Ali, ‘suruh Al-Qur’an bicara’. Namun, ia menegaskan bahwa tidak semua pertanyaan akan mendapat jawaban eksplisit, seperti teori evolusi.
Lebih lanjut, ia menjelaskan perkembangan ke arah tafsir maqasidi, yang fokus pada tujuan Al-Qur’an dan kebutuhan masyarakat. “Tafsirkan sesuai apa yang ada dalam Al-Qur’an, tidak perlu cari yang lain lagi,” katanya, mengutip pandangan Syekh Muhammad Al-Ghazali. Menurutnya, memahami maksud setiap surat sangat penting, karena hal tersebut dapat membantu menyingkirkan penafsiran yang melenceng.
Sebagai contoh, ia menyoroti QS. Al-Ma’idah ayat 1 yang memuat kata auliya’. “Yang lebih penting daripada itu, kalau bicara mengenai maksud, adalah ada ancaman dalam ayat tersebut,” ujarnya. Ia juga menekankan perlunya memahami maksud ayat-ayat Al-Qur’an untuk menghindari pemahaman yang hanya bersifat literal.
Quraish Shihab menjelaskan bahwa tafsir maqasidi bertujuan mencari solusi atas problematika masyarakat. “Dalam konteks maqasidi yaitu apa yang diperlukan masyarakat Anda, maka carilah itu,” tegasnya. Untuk mendukung hal ini, ia menekankan pentingnya pemahaman mendalam tentang kosa kata Al-Qur’an, seperti a’tha yang berarti memberi, atau aqimu al-shalah yang berarti menyempurnakan sikap, bukan sekadar berdiri dalam shalat.
Ia juga menjelaskan berbagai bentuk perintah membaca dalam Al-Qur’an, seperti qira’ah yang berarti membaca namun belum tentu diikuti, tilawah yang berarti membaca sekaligus mengikuti, dan tadabbur yang berarti memperhatikan dampak sesuatu.
Dalam tafsir maqasidi, menurutnya, ada beberapa ciri penting. “Jangan terlalu ambisius, lihat saja apa yang diperlukan masyarakat. Beri solusi,” ujarnya. Ia juga menambahkan perlunya pengetahuan tentang problematika masyarakat dan tantangan yang dihadapi. Sebagai contoh, ia menyebut metode Rasyid Ridha yang memberikan solusi di catatan kaki tafsirnya.
Quraish Shihab menutup pemaparannya dengan mengingatkan bahwa kebutuhan masyarakat berubah dari waktu ke waktu. “Kebutuhan kita sekarang beda dengan kebutuhan masyarakat 10 tahun yang lalu,” ungkapnya.
Dengan memahami maksud setiap surat, seperti Rahman yang menggambarkan rahmat ilahi atau Al-Baqarah yang menekankan kuasa Allah, tafsir maqasidi dapat memberikan solusi relevan bagi masyarakat kontemporer.