MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hamim Ilyas, menjelaskan empat kecenderungan utama yang memengaruhi paradigma tafsir Al-Quran dalam acara Konferensi Mufasir Muhammadiyah II di Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA (UHAMKA) pada Sabtu (14/12).
Menurut Hamim, paradigma dominan yang menganggap Al-Quran sebagai kitab agama dipengaruhi oleh empat kecenderungan. Pertama, kompleksitas Al-Quran. Sebagai kitab suci yang rumit, Al-Quran membutuhkan tafsir untuk menjelaskan kata-kata dan susunan kalimatnya.
Abu Hayyan Al-Andalusi, seorang mufasir terkemuka, mendefinisikan tafsir sebagai kajian mendalam tentang cara pengucapan, arti, serta makna kata-kata Al-Quran, baik secara mandiri maupun dalam konteks kalimat. “Kompleksitas ini terlihat dari sejarah penulisan Al-Quran yang pada awalnya tanpa tanda baca dan pembeda huruf,” ujar Hamim.
Bahkan dengan penambahan tanda baca, pemahaman Al-Quran tetap membutuhkan keahlian tafsir untuk mengurai kata-kata yang memiliki makna berlapis, seperti kata ba dalam bahasa Arab.
Kedua, Al-Quran sebagai kitab eksplanasi. Hamim menjelaskan bahwa tafsir memfokuskan kajian pada kemampuan manusia untuk memahami Al-Quran, yang sifatnya terbatas baik secara fisik maupun mental. Karena keterbatasan ini, perbedaan dalam tafsir Al-Quran menjadi sesuatu yang wajar. Namun, batas kemampuan manusia dalam memahami kitab suci ini tidak dapat didefinisikan secara pasti.
Ketiga, kecenderungan reduksionis. Al-Quran sering dipersempit pemahamannya dengan memotong ayat-ayat tertentu untuk mendukung kepentingan kelompok tertentu. “Hal ini terjadi, misalnya, saat pemilu, di mana Al-Quran digunakan sebagai alat legitimasi kelompok tertentu sehingga fungsi universalnya sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia menjadi tereduksi,” jelasnya.
Keempat, kecenderungan petunjuk Al-Quran. Hamim memaparkan tujuh sub-kecenderungan petunjuk Al-Quran, mulai dari petunjuk untuk kebahagiaan hidup dunia dan akhirat hingga petunjuk keadilan sosial dan rahmat Allah. Dalam QS. An-Nahl ayat 97, konsep hayah thayyibah atau hidup baik mencakup rezeki yang halal, kepuasan, dan kebahagiaan. “Hidup baik menurut Al-Quran hanya dapat diwujudkan melalui iman dan amal saleh,” tambahnya.
Hamim juga menyoroti arah tafsir At-Tanwir yang dikembangkan Muhammadiyah. Tafsir ini diarahkan untuk membangun peradaban monistik, yaitu peradaban di mana manusia hidup selaras dengan Allah, alam, dan sesama manusia.
Peradaban monistik ini merujuk pada masyarakat Islam yang memiliki sembilan ciri utama sebagaimana ditetapkan dalam Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta, yaitu berketuhanan, berakhlak, berhukum syar’i, berkesejahteraan, bermusyawarah, berihsan, berkemajuan, berkepemimpinan, dan berketertiban.
Acara ini menekankan pentingnya tafsir Al-Quran sebagai alat strategis untuk mengembangkan visi peradaban Islam yang maju dan berkeadilan. “Tafsir bukan sekadar kajian akademik, tetapi harus menjadi panduan praktis yang menjawab tantangan umat Islam dalam membangun hidup sejahtera, damai, dan bahagia,” tutup Hamim.