MUHAMMADIYAH.OR.ID, JAKARTA — Dalam khazanah keilmuan Islam, konsep syar‘u man qablanā menjadi topik yang menarik sekaligus kompleks untuk dibahas. Secara terminologis, syar‘u man qablanā didefinisikan sebagai ketentuan-ketentuan hukum yang dibawa oleh para nabi terdahulu untuk umat mereka, sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW.
Dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (11/12), Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Sopa, mengatakan bahwa ketentuan yang dibawa para Rasul terdahulu ini sampai kepada umat Nabi Saw melalui berita yang benar dan dapat dipercaya. Namun, sejauh mana syariat nabi terdahulu berlaku bagi umat Islam masa kini menjadi perdebatan di kalangan ulama.
Beberapa syariat dari nabi terdahulu tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an maupun hadis. Sebagai contoh, aturan tertentu yang disebutkan dalam kitab Taurat dan Injil, seperti pengharaman lemak pada hewan tertentu bagi kaum Yahudi sebagaimana tercantum dalam surat Al-An’am ayat 146.
Namun, ujar Sopa, dalam syariat Islam, pengharaman makanan diatur berbeda, sebagaimana disebutkan dalam Al-An’am ayat 145. Dalam kasus ini, syariat terdahulu dinyatakan tidak berlaku bagi umat Islam, karena telah dibatalkan (nasakh).
Sebaliknya, ada pula syariat nabi terdahulu yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan dinyatakan secara tegas berlaku bagi umat Islam. Contohnya adalah syariat puasa yang diwajibkan atas umat terdahulu, sebagaimana termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 183.
Demikian pula, syariat qishash yang dibawa oleh Nabi Musa AS, diabadikan dalam surat Al-Maidah ayat 45, dan menjadi bagian dari hukum Islam. Aturan ini diperkuat dalam surat Al-Baqarah ayat 178 yang mengatur tentang qishash dalam kasus pembunuhan.
Namun, terdapat wilayah abu-abu ketika syariat nabi terdahulu disebutkan dalam Al-Qur’an atau hadis, tetapi tidak dinyatakan secara tegas berlaku atau dibatalkan. Salah satu contohnya adalah ayat tentang qishash selain pembunuhan dalam surat Al-Maidah ayat 45. Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah hukum ini tetap relevan bagi umat Islam atau tidak.
Perbedaan pandangan juga terlihat dalam kasus seorang muslim yang membunuh orang kafir dzimmi. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa pelaku harus di-qishash, berdasarkan prinsip keadilan universal dalam surat Asy-Syura ayat 13. Sebaliknya, Mazhab Syafi’i menilai bahwa ayat Al-Maidah ayat 45 hanya berlaku bagi umat Yahudi dan tidak dapat diterapkan pada umat Islam.
Fenomena ini menunjukkan bahwa keberlakuan syariat terdahulu bagi umat Islam sangat bergantung pada konteks penyebutan dan penegasannya dalam Al-Qur’an dan hadis. Dalam ranah hukum Islam, kehati-hatian dalam memahami syar‘u man qablanā menjadi penting, agar tidak terjadi kekeliruan dalam menempatkan ketentuan hukum yang bersumber dari ajaran terdahulu.
Pada akhirnya, Sopa mengatakan bahwa setiap perdebatan ini tidak hanya menyoroti keindahan ragam pemikiran dalam Islam, tetapi juga menegaskan perlunya kajian mendalam dalam memahami relevansi syariat di masa lalu dengan kehidupan umat Islam saat ini.