MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA — QS. Al-Taubah ayat 45-50 memberikan gambaran tentang perilaku orang-orang munafik. Mereka kerap muncul dalam situasi sulit, terutama ketika diminta berpartisipasi dalam jihad. Salah satu contoh nyata dari perilaku mereka adalah pada Perang Tabuk.
Dalam acara Halaqah Tafsir At-Tanwir di Aula Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan pada Sabtu (12/10), Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah Sopa menerangkan bahwa Perang Tabuk merupakan bentrok senjata antara umat Islam yang dipimpin Nabi Muhammad Saw melawan Kekaisaran Romawi Timur di bawah Heraklius.
Sopa menjelaskan bahwa perang ini berlangsung di musim panas dengan jarak tempuh yang sangat jauh dari Madinah, sekitar 20 hari perjalanan. Kaum munafik meminta izin untuk tidak ikut berperang, mengemukakan alasan-alasan yang tidak sah secara syariat. Pada akhirnya, mereka diizinkan untuk tinggal, namun alasan sebenarnya adalah keraguan dan ketidakpercayaan mereka kepada Allah dan hari kiamat.
Menurut Sopa, kaum munafik ini takut kehilangan nyawa dan harta benda di medan perang. Mereka tidak memikirkan pahala di akhirat, tetapi lebih terfokus pada kepentingan duniawi, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Abdullah bin Salul, pemimpin kaum munafik di Madinah, yang berambisi menjadi penguasa demi keuntungan materi.
Ketika jihad membutuhkan pengorbanan nyawa dan harta, golongan munafik ini mencari berbagai alasan untuk menghindari kewajiban tersebut. Sikap ini, ujar Sopa, berbeda jauh dengan orang-orang beriman yang dengan antusias menyambut seruan jihad, seperti yang terjadi pada Perang Tabuk. Sekitar 30.000 pasukan Muslim berkumpul, meski dalam kondisi sulit. Bahkan, Perang Tabuk ini disebut sebagai “Jaisy al-‘Usrah” atau pasukan yang berada dalam kesulitan.
Orang-orang munafik juga tidak melakukan persiapan yang memadai, padahal mereka mampu. Meskipun sulit, sebaliknya, kaum Muslimin yang beriman mempersiapkan segala keperluan untuk berperang. Para sahabat seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, dan lainnya, menyumbangkan harta mereka dengan penuh keikhlasan. Abu Bakar, misalnya, menyumbangkan semua sisa hartanya, sementara Umar menyumbangkan separuh harta yang dimilikinya.
Perilaku munafik lainnya adalah membuat kekacauan di tengah-tengah barisan Muslim. Sejak perang Uhud, kaum munafik sering mengacaukan persiapan perang kaum Muslimin. Pemimpin mereka, Abdullah bin Ubay, membujuk sepertiga pasukan Muslim untuk mundur dari perang. Terjadi juga pada Perang Khandaq, ketika kaum munafik menyebarkan isu-isu untuk menggoyahkan barisan Muslim. Akibatnya, Nabi Saw mengambil sikap tegas untuk tidak melibatkan mereka dalam perang.
Ciri lain dari kaum munafik menurut Sopa adalah perasaan senang ketika kaum Muslimin menghadapi musibah. Jika Rasulullah dan para sahabatnya mengalami kekalahan atau kesulitan, seperti pada Perang Uhud, mereka merasa puas dengan keputusan mereka untuk tidak ikut berperang. Sebaliknya, jika kaum Muslimin meraih kemenangan, mereka justru merasa iri dan kecewa.
Saat Perang Tabuk, terang Sopa, kaum munafik yang tinggal di Madinah terus menyebarkan berita bohong tentang kondisi pasukan Muslim di medan perang, mengklaim bahwa Nabi Muhammad dan pasukannya dalam bahaya. Namun, kenyataannya, pasukan Muslim berada dalam keadaan baik dan kemenangan pun diraih tanpa pertumpahan darah.
Perilaku munafik yang ditampilkan dalam ayat-ayat ini menggambarkan ketidaksetiaan, pengecut, dan sikap materialistik yang berbahaya bagi keutuhan umat Islam. Kaum Muslimin harus waspada terhadap tipu daya mereka dan menjadikan jihad sebagai panggilan iman yang murni, bukan sekadar kalkulasi duniawi.