Peringatan Sekaten tidak bisa dipisahkan dari Maulid Nabi Muhammad Saw, sebuah tradisi yang sudah lama dikenal di kalangan umat Islam. Meski begitu, penting untuk dicatat bahwa selama hayat Nabi, peringatan Maulid ini tidak ada. Bahkan, hingga 200 tahun setelah wafatnya Nabi saw., peringatan ini belum juga dikenal.
Tradisi Maulid pertama kali diadakan oleh al-Muzaffar Abu Said, seorang raja dari Irbil, pada awal abad ketiga Hijriyah, lebih dari dua abad setelah wafatnya Nabi saw. Awalnya, peringatan ini bertujuan untuk menggugah semangat hidup beragama dan meneladani kehidupan Nabi saw. Sejak saat itu, Maulid Nabi berkembang menjadi tradisi yang menyebar luas di kalangan umat Islam dengan variasi yang beragam sesuai budaya setempat.
Sekaten sendiri merupakan peringatan Maulid Nabi Saw yang khas Jawa, bermula dari zaman Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa. Pada masa itu, gamelan merupakan seni yang digemari masyarakat. Para Wali, terutama Sunan Kalijaga, menggunakan gamelan sebagai sarana untuk mengumpulkan masyarakat di depan masjid, lalu memberikan penyuluhan agama Islam.
Masyarakat yang tertarik dan ingin memeluk Islam, dibimbing untuk mengucapkan Syahadat. Nama “Sekaten” diyakini berasal dari kata “Syahadatain,” yang mengalami perubahan dalam pengucapannya. Ada juga yang menyebut bahwa “Sekaten” berasal dari kata “sekati,” yaitu nama dua perangkat gamelan, Guntur Madu dan Nogowilogo.
Sekaten pada dasarnya adalah kegiatan dakwah Islam yang dikemas dengan hiburan yang digemari masyarakat kala itu. Suasana Jawa yang kental, terutama melalui gending-gending gamelan, menjadikan Sekaten sangat berkesan bagi masyarakat. Setelah menikmati hiburan, masyarakat kemudian diajak untuk mendengarkan pengajian agama.
Dalam perkembangannya, Sekaten mengalami berbagai perubahan. Hiburan yang ditampilkan kini lebih beragam, mulai dari berbagai kesenian hingga pasar malam. Namun, prinsip dasar Sekaten tetap tidak berubah, yakni menggabungkan dakwah Islam dengan hiburan.
Dengan demikian, perayaan Sekaten sebenarnya bergantung pada niat dan motivasi individu yang merayakannya. Selama tujuannya adalah untuk memperkuat iman dan menyebarkan ajaran Islam, perayaan Sekaten dapat dianggap sebagai bagian dari dakwah Islam. Namun, penting bagi umat Islam untuk selalu menjaga agar esensi dari perayaan ini tidak luntur oleh berbagai hiburan yang berkembang di sekitarnya.
Referensi:
Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tanya Jawab Agama 4, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2003), 274-275.