MUHAMMADIYAH.OR.ID, SURAKARTA — Max Weber pernah menyampaikan sebuah tesis kontroversial yang menghubungkan lahirnya kapitalisme dengan pandangan keagamaan kaum Protestan. Tesis Weber ini termuat dalam bukunya yang terkenal The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Menurut Weber, dalam pandangan Protestan, kekayaan dianggap sebagai tanda seseorang mendapat rahmat Tuhan. Dalam tradisi ini, orang yang berhasil menghimpun kekayaan dan menggunakannya di jalan Tuhan dianggap memiliki tanda-tanda keselamatan.
“Apakah tesis Weber ini ini bisa diterapkan dalam Islam?” Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Saad Ibrahim melemparkan pertanyaan retoris kepada peserta Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Pengembangan Pesantren (LP2) Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Rabu (28/08) di Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Meskipun tesis Weber telah banyak dibantah, gagasan bahwa kekayaan adalah indikator rahmat Tuhan tetap menarik untuk dikritisi, terutama dari sudut pandang Islam. Menurut Saad, konsep rahmat Tuhan tidak terkait langsung dengan kekayaan materi. Ada banyak nabi, seperti Nabi Ayub, yang tidak sekaya Nabi Sulaiman atau Nabi Yusuf. Kekayaan bukanlah penentu kebaikan atau keburukan seseorang di mata Allah.
Islam mengajarkan bahwa kaya atau miskin bukanlah tanda dari rahmat atau hukuman Tuhan. Hal ini memberikan pelajaran penting untuk membangun mindset dan etika yang benar dalam menghadapi harta. Kekayaan seharusnya tidak menjadi alasan untuk memandang orang lain lebih rendah, karena status ekonomi bukanlah tolok ukur kebaikan di hadapan Allah.
“Jadi, apa yang sebenarnya menentukan apakah seseorang baik atau jahat dalam hal kepemilikan harta? Dalam Islam, keyakinan bahwa semua harta adalah milik Allah adalah dasar dari etika kepemilikan,” terang Saad.
Menurut Saad, bekerja keras bukan semata-mata untuk mengumpulkan kekayaan, tetapi karena menjalankan perintah Allah, yang pada dasarnya selalu baik. Hasil dari kerja keras ini pun, besar atau kecil, ditentukan oleh Allah. Jika hasilnya sedikit, mungkin itu adalah bentuk ujian di dunia, atau bahkan balasan yang ditunda hingga akhirat.
Dengan keyakinan bahwa semua yang didapatkan adalah dari Allah, maka akan lebih mudah menerima apa pun yang terjadi, termasuk ketika sesuatu diambil dari kita. Salah satu cara untuk menunjukkan sikap ini dalam Islam adalah dengan wakaf.
“Ketika kita mewakafkan harta, kita sebenarnya mengembalikan kepemilikan harta itu kepada Allah, bukan sekadar menyerahkannya kepada Muhammadiyah. Jadi harta wakaf itu bukan milik Muhammadiyah, tapi milik Allah,” ucap Saad.
Dalam konteks ini, Saad menyatakan bahwa kekayaan tidak lagi menjadi ukuran rahmat atau kesuksesan, tetapi alat untuk mencapai ridha Allah melalui pengabdian yang tulus. Aspek yang lebih penting adalah bagaimana menggunakan harta tersebut dalam kerangka ketaatan kepada Allah. Inilah yang menjadi penentu kebaikan dan keburukan seseorang di mata-Nya.