Sabtu, 19 Juli 2025
  • AR
  • EN
  • IN
Muhammadiyah
  • KABAR
  • OPINI
  • HUKUM ISLAM
  • KHUTBAH
  • MEDIA
  • SEJARAH
  • TOKOH
  • ARSIP
No Result
View All Result
  • Login
Muhammadiyah
  • KABAR
  • OPINI
  • HUKUM ISLAM
  • KHUTBAH
  • MEDIA
  • SEJARAH
  • TOKOH
  • ARSIP
No Result
View All Result
  • Login
Muhammadiyah
No Result
View All Result
  • KABAR
  • OPINI
  • HUKUM ISLAM
  • KHUTBAH
  • MEDIA
  • SEJARAH
  • TOKOH
  • ARSIP
Home Artikel

Diskusi Ulama Modern Mengenai Hadis Tentang Usia Pernikahan ‘Aisyah

by ilham
1 tahun ago
in Artikel, Berita
Reading Time: 6 mins read
A A
Diskusi Ulama Modern Mengenai Hadis Tentang Usia Pernikahan ‘Aisyah

Isu usia ‘Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad sering menjadi bahan diskusi yang digunakan untuk mendiskreditkan Islam. Menurut sejumlah hadis, ‘Aisyah menikah dengan Nabi pada usia enam atau tujuh tahun dan mulai hidup bersama sebagai suami istri pada usia sembilan tahun.

Hadis ini sering dijadikan dasar oleh para Islamofobia untuk menyerang Islam dan menggambarkan Nabi Muhammad SAW serta umat Islam sebagai penganut ajaran yang misoginis. Baik kalangan terpelajar maupun masyarakat umum di Barat kerap menggunakan isu ini untuk memperkuat pandangan negatif terhadap Islam.

Secara umum, respons ulama modern terbagi menjadi dua kelompok utama: pertama, kelompok yang membela keabsahan hadis-hadis tersebut dan menegaskan bahwa Nabi memang menikahi ‘Aisyah di usia muda; kedua, kelompok yang menolak keabsahan hadis tersebut dan meyakini bahwa ‘Aisyah menikah pada usia yang lebih matang. Dua cendekiawan yang mewakili pandangan ini adalah Jasser Auda dan Jonathan Brown.

Pandangan Jasser Auda

MateriTerkait

Sekolah Muhammadiyah Didorong Seimbangkan Iman dan Intelektual

Perkuat Sinergi Pendidikan dan Literasi Media, APIK PTMA Audiensi dengan Kemdikti Saintek dan LSF

Menjadi Pemuda yang Berdampak seperti Ashabul Kahfi

Jasser Auda menegaskan perlunya koreksi besar-besaran dalam studi hadis terutama terhadap tiga hal ini: hadis yang dipengaruhi oleh kepentingan politik penguasa, hadis yang merendahkan perempuan, dan hadis yang mengandung unsur Isra’iliyyat. Terkait dengan analisisnya terhadap hadis usia pernikahan ‘Aisyah, tiga aspek utama yang membentuk pandangannya adalah: mempertimbangkan konteks sosial-politik, kritik matan dengan Al Quran, dan kritik sanad.

Auda berpendapat bahwa untuk memahami sebuah hadis, penting untuk mempertimbangkan konteks sosio-politik di mana hadis tersebut disampaikan dan waktu kompilasinya. Menurut Auda, menilai keabsahan suatu hadis hanya berdasarkan sanadnya tidaklah cukup; afiliasi politik narator juga harus diperhatikan. Dalam konteks modern, pembaca hadis perlu mempertanyakan agenda politik di balik periwayatan sebuah hadis, terutama jika matan-nya bermasalah.

Auda berpendapat bahwa hadis mengenai pernikahan ‘Aisyah pada usia sembilan tahun adalah pemalsuan yang dibuat untuk kepentingan politik Dinasti Umayyah yang berkuasa pada saat itu. Mereka melakukannya untuk melegitimasi praktik perbudakan anak-anak. Auda menyayangkan Imam Bukhari menerima hadis ini padahal isinya mendukung tindakan para pemimpin Dinasti Bani Umayyah yang korup.

Selain konteks sosial politik, untuk menolak hadis-hadis yang menyebutkan bahwa Nabi Saw menikahi ‘Aisyah pada usia enam tahun dan berhubungan intim dengannya pada usia sembilan tahun, Auda menggunakan konsep “kritik matan”. Konsep ini menekankan bahwa sebuah hadis hanya bisa dianggap sahih jika matan-nya telah diuji terlebih dahulu. Auda menyatakan bahwa kritik matan harus dilakukan dengan mengacu pada prinsip-prinsip umum Al-Quran, hadis-hadis Nabi lainnya, dan konteks sejarah umum Islam.

Auda berpendapat bahwa penafsiran hadis tidak boleh bertentangan dengan Al-Quran dan harus dievaluasi dalam konteks ayat-ayat Al-Quran. Ia menyebut metode ini sebagai “revelation-centrism” atau “markaziyyah al-wahy“, yang menempatkan Al-Quran sebagai pusat dalam analisis hadis. Auda juga menyebut metode ini sebagai hegemoni Al-Quran atas narasi Sunah. Konsep ini dibangun dengan asumsi bahwa Al-Quran memiliki kedudukan lebih tinggi daripada hadis dan oleh karena itu harus menjadi kriteria utama dalam menilai keabsahan hadis Nabi.

Auda menegaskan bahwa hadis-hadis tentang pernikahan ‘Aisyah bertentangan dengan QS. Al-Nisa ayat 6, yang mengatur bahwa anak baru boleh menikah jika sudah memasuki fase baligh (kedewasaan). Oleh karena itu, menurut Auda, Nabi Muhammad SAW yang menjadi teladan umatnya tidak mungkin melanggar ketentuan dalam ayat tersebut.

Selain kritik matan, Auda juga menggunakan kritik sanad untuk mengevaluasi sejarah pernikahan dini ‘Aisyah. Dari segi sanad, hadis tentang Nabi yang menikahi ‘Aisyah pada usia enam atau tujuh tahun dianggap problematis. Auda menyoroti perawi bernama Hisyam bin ‘Urwah, yang dianggap dapat dipercaya pada awal kehidupannya, tetapi kemudian dianggap tidak dapat diandalkan setelah ia hijrah ke Kufah dan dekat dengan para penguasa di sana. Auda mengklaim bahwa Hisyam menderita amnesia dan sering menyembunyikan kekurangan dalam hadis yang diriwayatkannya.

Auda memastikan bahwa metodologinya dalam menilai hadis-hadis tentang pernikahan ‘Aisyah murni berdasarkan paradigma syariah dan kerangka fikih tradisional. Ia secara tegas menolak anggapan bahwa pandangannya dipengaruhi oleh norma-norma Barat modern. Auda berargumen bahwa pernikahan seharusnya mencapai tujuan “saling mencintai dan mengasihani,” sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran (30:21), dan tidak mungkin hal itu dapat dicapai melalui pernikahan dengan anak berusia enam atau sembilan tahun.

Pandangan Jonathan Brown

Jonathan Brown memiliki pandangan berbeda terhadap hadis tentang pernikahan ‘Aisyah. Tiga aspek utama yang membentuk pandangannya adalah: hubungan hermeneutik antara Al-Qur’an dan hadis, metode dalam mengkritisi sanad hadis, dan kritik dekolonial terhadap universalitas norma-norma Barat modern.

Brown mengomentari pendukung kritik matan yang mengevaluasi hadis berdasarkan hubungannya dengan ayat-ayat Al-Quran. Menurutnya, meskipun Al-Quran lebih otoritatif secara ontologis, hadis lebih unggul secara hermeneutis. Umat Islam tidak bisa memahami Al-Quran tanpa bantuan hadis, namun. Al-Quran menuntut agar hadis menguraikan aturan-aturan hukumnya yang luas, bukan sebaliknya, di mana hadis mengharuskan Al-Quran berfungsi sebagai kerangka evaluatif secara hermeneutif. Oleh karena itu, upaya mengkaji hadis dengan mengacu pada Al-Quran tidak selamanya tepat.

Brown berpendapat bahwa tidak ada kriteria objektif untuk menentukan sejauh mana sebuah hadis bertentangan dengan Al-Quran. Evaluasi terhadap keduanya sering kali bergantung pada subjektivitas para sarjana. Oleh karena itu, menurut Brown, seorang sarjana Muslim harus terlebih dahulu mencoba merekonsiliasi isi dari hadis-hadis yang serupa sebelum mengklaim adanya pertentangan.

Selain itu, Brown juga mengajukan keberatan metodologis terhadap kritik sanad yang disampaikan oleh Auda dan sejenisnya. Ia berargumentasi bahwa analisis para penentang hadis pernikahan ‘Aisyah sangat parsial dan mereka tidak berusaha merekonstruksi keseluruhan sanadnya.

Menurut Brown, hadis-hadis tentang usia pernikahan ‘Aisyah sebenarnya diriwayatkan oleh banyak perawi melalui berbagai rantai dan matan yang berbeda-beda, sehingga tidak mungkin dipalsukan. Brown berpendapat bahwa pengkritik hadis pernikahan ‘Aisyah mengabaikan fakta ini dan hanya fokus pada satu sanad, khususnya pada narator Hisyam bin ‘Urwah.

Bukan hanya dari sisi metode membaca matan dan mengkritik sanad, Brown juga menunjukkan bahwa dalam sejarah pra-modern, pernikahan anak pada usia dini merupakan hal yang lumrah di banyak masyarakat, termasuk di dunia Barat. Menurutnya, norma-norma sosial selalu berkembang dan oleh karena itu tidak dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai norma-norma dari masa lalu.

Karenanya, Brown menilai bahwa mereka yang menolak hadis tentang usia pernikahan ‘Aisyah tidak bisa mengenali bias intrinsik mereka sendiri dan tidak mengakui bahwa mereka telah mengadopsi cara berpikir anakronistik, dengan memaksakan normativitas modern untuk menilai kejadian-kejadian historis. Brown kemudian menekankan pentingnya dekolonisasi pemikiran Islam dan mengajak umat Islam untuk membongkar bias-bias yang melekat pada universalitas budaya dan peradaban Barat.

Analisis Terhadap Pandangan Auda dan Brown

Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Muhamad Rofiq Muzakkir menganalisis bahwa baik Auda maupun Brown menawarkan argumentasi yang didasarkan pada tiga asumsi paradigmatik: 1) hubungan antara politik dan pengetahuan; 2) metode epistemologis dalam mengkaji hadis, dan 3) posisi mengenai universalitas norma-norma modern.

Hubungan antara Politik dan Pengetahuan

Jasser Auda menekankan bahwa rezim politik historis memiliki pengaruh signifikan dalam kanonisasi hadis. Menurutnya, para penguasa mengendalikan periwayatan hadis untuk mendukung kepentingan politik mereka. Ia percaya bahwa ulama pada masa pembentukan ortodoksi Islam terjebak dalam struktur sosiopolitik yang ada dan menghasilkan pengetahuan yang mencerminkan hegemoni ideologis zamannya. Auda menilai bahwa cendekiawan Muslim kontemporer harus memahami konteks sejarah spesifik di mana pengetahuan ini dihasilkan untuk mengungkap bias-bias yang tertanam di dalamnya.

Pandangan Auda juga dipengaruhi oleh kekecewaannya terhadap politik kontemporer di Mesir, di mana otoritarianisme mengooptasi berbagai institusi publik. Hal ini membentuk wacana intelektualnya, termasuk dalam analisis sejarah Islam dan perumusan hadis pada periode awal Islam. Auda melihat bahwa elite penguasa modern menggunakan strategi yang sama dengan penguasa masa lalu dalam mengendalikan narasi.

Di sisi lain, Jonathan Brown setuju bahwa kepentingan politik bisa menyebabkan pemalsuan hadis, tetapi ia melihat pemalsuan ini dilakukan oleh berbagai kelompok, termasuk yang terpinggirkan, bukan hanya oleh elite penguasa. Brown menunjukkan bahwa baik penguasa maupun pihak yang tidak berdaya sama-sama terlibat dalam pemalsuan hadis untuk memajukan kepentingan politik mereka. Dia berpendapat bahwa meskipun ada paksaan dari penguasa, ulama masih mempertahankan hak pilihan dan berusaha obyektif dalam memilih hadis, berbeda dengan Auda yang melihat ulama mudah dimanipulasi.

Menurut Auda, afiliasi dengan keluarga Nabi (ahl al-bayt) sering menjadi penyebab marginalisasi perawi hadis. Brown tidak setuju, menunjukkan bahwa ulama hadis Sunni tetap menyampaikan hadis dari perawi Syiah jika mereka dianggap objektif secara historis. Contohnya adalah kolektor hadis Sunni, Muslim, yang menerima hadis dari seorang Syiah bernama ‘Adi ibn Tsabit. Brown menilai ini sebagai bukti inklusivitas sektarian dalam pengumpulan hadis, berbeda dengan pandangan Auda yang lebih skeptis terhadap objektivitas ulama hadis.

Metode Epistemologis dalam Mengkaji Hadis

Auda menggunakan paradigma reformis, percaya bahwa tradisi pra-modern tidak dapat dijadikan tolok ukur keabsahan hadis, termasuk hadis tentang pernikahan Aisha. Ia berargumen bahwa ulama pra-modern terjebak dalam konteks sejarah mereka sendiri, sehingga tidak mampu melakukan analisis kritis yang diperlukan. Meskipun hadis telah diterima oleh ulama terdahulu, ini tidak berarti hadis tersebut harus dianggap benar tanpa kritik. Oleh karena itu, umat Islam di era modern dapat memberikan penafsiran baru yang mungkin lebih benar.

Sebaliknya, Brown, yang berpegang pada paradigma tradisionalis, berpendapat bahwa kebenaran teologis tidak terhalang oleh waktu dan dapat ditemukan dalam pandangan ulama terdahulu. Baginya, keterlibatan serius dengan pendapat-pendapat historis sangat penting karena kebenaran agama telah terungkap dalam pandangan tersebut. Paradigma ini menolak pendekatan reformis yang mengabaikan norma-norma klasik dan lebih memilih metodologi tradisional.

Selain itu, ada perbedaan pandangan mengenai keandalan kritik hadis konvensional, khususnya sanad. Auda menilai bahwa kritik sanad saja tidak cukup untuk memastikan keaslian hadis. Ia mengusulkan penggunaan analisis sejarah modern yang lebih ketat, yang menurutnya lebih dapat diandalkan daripada metode sanad tradisional. Brown, di sisi lain, masih sangat menghormati metodologi tradisional dan percaya bahwa kritik sanad adalah alat yang dapat diandalkan. Ia bahkan mengkritik metode kritik sejarah modern yang dianggapnya didasarkan pada skeptisisme dan penolakan terhadap otoritas ilmiah.

Brown menunjukkan bahwa hadis tentang pernikahan Aisha memiliki banyak rantai periwayatan yang saling menguatkan, menjadikannya kuat secara epistemologis. Ini berbeda dengan Auda, yang skeptis terhadap keandalan sanad dan menganggap jaringan hadis tersebut tidak cukup kuat karena bergantung pada narator yang dipertanyakan, seperti Hisyam ibn ‘Urwah.

Universalitas Norma-norma Modern

Auda menyangkal bahwa ia menggunakan paradigma Barat dan tidak melihat modernitas sebagai entitas yang terpisah dari peradaban Islam. Ia juga tidak menganggap modernitas sebagai hasil pemaksaan nilai-nilai Barat. Bagi Auda, penentu pengaruh asumsi Barat adalah apakah seorang sarjana mengutip karya Barat atau tidak. Ia cenderung melihat atribusi dangkal suatu ide tanpa memeriksa dimensi filosofisnya secara mendalam.

Sebaliknya, Brown menekankan pentingnya mempertanyakan universalitas praktik budaya Barat kontemporer. Ia berpendapat bahwa ketidaknyamanan terhadap hadis tentang pernikahan Aisha berasal dari penerapan norma-norma Barat. Menurutnya, umat Islam yang menolak hadis ini sebenarnya sedang menjalankan paradigma Barat modern. Brown mendorong kajian terhadap kemungkinan bias modernitas dalam menafsirkan peristiwa sejarah, termasuk dalam studi hadis.

Penutup

Isu pernikahan ‘Aisyah memang menjadi topik kontroversial sejak era modern. Menurut Rofiq, tidaklah beralasan untuk mengatakan bahwa hal ini akan menjadi sumber perdebatan abadi dalam komunitas Muslim, mengingat modernitas telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas mereka.

Lantas, bagaimana pandangan Muhammadiyah sebagai gerakan modern terkait hal ini?

Referensi:

Muhamad Rofiq Muzakkir, Siti Sarah Muwahidah, Royan Utsany, Rohmansyah, “Sectarian tensions, Islamophobia, and decolonization: comparing Jasser Auda’s and Jonathan Brown’s analysis of the Hadiths concerning Aisha’s marital age”, dalam Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies, Vol. 13, no. 2 (2023), pp. 427-456, doi : 10.18326/ijims.v13i2.427-456.

Tags: aisyahmenikahusia
ShareTweetSendShareShare
Previous Post

UNISA Yogyakarta Perkuat SDM Lewat Program Beasiswa Pintar

Next Post

UM Palembang Kembali Tambah Guru Besar, Haedar Nashir Sampaikan Apresiasi

Baca Juga

Muhadjir Effendy Minta Pasangan Nikah Muda Dibina Harmoni dan Ekonominya
Artikel

Tujuan Pernikahan dan Usia yang Tepat Bagi Anak untuk Menikah

17/07/2024
Ketentuan-ketentuan Tunangan dalam Islam yang Perlu Diperhatikan
Artikel

Pandangan Muhammadiyah Mengenai Hadis Tentang Pernikahan ‘Aisyah

16/07/2024
Ketentuan-ketentuan Tunangan dalam Islam yang Perlu Diperhatikan
Berita

Benarkah Menikah Mesti dalam Keadaan Suci dari Hadas?

03/12/2022
Ketentuan-ketentuan Tunangan dalam Islam yang Perlu Diperhatikan
Berita

Ketentuan-ketentuan Tunangan dalam Islam yang Perlu Diperhatikan

12/08/2022
Next Post
UM Palembang Kembali Tambah Guru Besar, Haedar Nashir Sampaikan Apresiasi

UM Palembang Kembali Tambah Guru Besar, Haedar Nashir Sampaikan Apresiasi

Ketentuan-ketentuan Tunangan dalam Islam yang Perlu Diperhatikan

Pandangan Muhammadiyah Mengenai Hadis Tentang Pernikahan ‘Aisyah

Mu’ti: Guru Besar di Lingkungan Muhammadiyah Jangan Seperti “Profesor Kerupuk”

Mu’ti: Guru Besar di Lingkungan Muhammadiyah Jangan Seperti “Profesor Kerupuk”

BERITA POPULER

  • Mahasiswa Kristen, Laura Amandasari: Kampus Muhammadiyah Rumah Kedua Saya

    Mahasiswa Kristen, Laura Amandasari: Kampus Muhammadiyah Rumah Kedua Saya

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rumah Sakit Muhammadiyah Berkembang Pesat, Haedar Nashir: Itu Kita Bangun Di Atas Sistem Profesional

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mahasiswa UMJ Viral Usai Jadi Ketua RT: Gen Z Siap Pimpin Masyarakat

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Cara Mudah Mengakses Kalender Hijriah Global Tunggal

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Merawat Kesehatan Mental melalui Perspektif Al-Qur’an dan Hadis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Universitas Muhammadiyah Papua Barat Resmi Berdiri, Irwan Akib: Muhammadiyah Hadir untuk Semua Anak Bangsa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Muhammadiyah Hadirkan Makan Bergizi: Wujud Nyata Pengabdian untuk Bangsa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Khutbah Jumat: Pentingnya Membiasakan Ibadah kepada Anak Sejak Dini

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Muhammadiyah Dukung Sepakbola Nasional lewat Peresmian Lapangan UMY

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

Majelis

  • Tarjih dan Tajdid
  • Tabligh
  • Diktilitbang
  • Dikdasmen dan PNF
  • Pembinaan Kader dan SDI
  • Pembinaan Kesehatan Umum
  • Peminaan Kesejahteraan Sosial
  • Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata
  • Pendayagunaan Wakaf
  • Pemberdayaan Masyarakat
  • Hukum dan HAM
  • Lingkungan Hidup
  • Pustaka dan Informasi

Lembaga

  • Pengembangan Pesantren
  • Pengembangan Cabang Ranting
  • Kajian dan Kemitraan Strategis
  • Pembinaan dan Pengawasan Keuangan
  • Resiliensi Bencana
  • Amil Zakat, Infak dan Sedekah
  • Pengembang UMKM
  • Hikmah dan Kebijakan Publik
  • Seni Budaya
  • Pengembangan Olahraga
  • Hubungan dan Kerjasama Internasional
  • Dakwah Komunitas
  • Pemeriksa Halal dan KHT
  • Pembinaan Haji dan Umrah
  • Bantuan Hukum dan Advokasi Publik

Biro

  • Pengembangan Organisasi
  • Pengelolaan Keuangan
  • Komunikasi dan Pelayanan Umum

Ortom

  • Aisyiyah
  • Pemuda Muhammadiyah
  • Nasyiatul Aisyiyah
  • Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
  • Ikatan Pelajar Muhammadiyah
  • Tapak Suci Putra Muhammadiyah
  • Hizbul Wathon

Wilayah Sumatra

  • Nanggroe Aceh Darussalam
  • Sumatra Utara
  • Sumatra Selatan
  • Sumatra Barat
  • Bengkulu
  • Riau
  • Kepulauan Riau
  • Lampung
  • Jambi
  • Bangka Belitung

Wilayah Kalimantan

  • Kalimantan Barat
  • Kalimantan Timur
  • Kalimantan Selatan
  • Kalimantan Tengah
  • Kalimantan Utara

Wilayah Jawa

  • D.I. Yogyakarta
  • Banten
  • DKI Jakarta
  • Jawa Barat
  • Jawa Tengah
  • Jawa Timur

Wilayah Bali &

Kepulauan Nusa Tenggara

  • Bali
  • Nusa Tenggara Barat
  • Nusa Tenggara Timur

Wilayah Sulawesi

  • Gorontalo
  • Sulawesi Barat
  • Sulawesi Tengah
  • Sulawesi Utara
  • Sulawesi Tenggara
  • Sulawesi Selatan

Wilayah Maluku dan Papua

  • Maluku Utara
  • Maluku
  • Papua
  • Papua Barat
  • Papua Barat daya

Cabang Istimewa

  • PCIM Kairo Mesir
  • PCIM Iran
  • PCIM Sudan
  • PCIM Belanda
  • PCIM Jerman
  • PCIM United Kingdom
  • PCIM Libya
  • PCIM Malaysia
  • PCIM Prancis
  • PCIM Amerika Serikat
  • PCIM Jepang
  • PCIM Tunisia
  • PCIM Pakistan
  • PCIM Australia
  • PCIM Rusia
  • PCIM Taiwan
  • PCIM Tunisia
  • PCIM TurkI
  • PCIM Korea Selatan
  • PCIM Tiongkok
  • PCIM Arab Saudi
  • PCIM India
  • PCIM Maroko
  • PCIM Yordania
  • PCIM Yaman
  • PCIM Spanyol
  • PCIM Hongaria
  • PCIM Thailand
  • PCIM Kuwait
  • PCIM New Zealand

Kategori

  • Kabar
  • Opini
  • Hukum Islam
  • Khutbah
  • Media
  • Tokoh

Tentang

  • Sejarah
  • Brand Guideline

Layanan

  • Informasi
  • KTAM

Ekosistem

  • Muhammadiyah ID
  • MASA
  • EventMu
  • BukuMu
  • SehatMu
  • KaderMu
  • LabMu

Informasi

  • Redaksi
  • Kontak
  • Ketentuan Layanan
© 2025 Persyarikatan Muhammadiyah

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • AR icon bendera arab
  • EN
  • ID bendera indonesia
  • Home
  • Organisasi
    • Anggota Pimpinan Pusat
    • Keputusan Muktamar Ke-48
      • Risalah Islam Berkemajuan
      • Isu – Isu Strategis Keumatan, Kebangsaan dan Kemanusiaan Universal
      • Keputusan Lengkap
    • Majelis
      • Majelis Tarjih dan Tajdid
      • Majelis Tabligh
      • Majelis Diktilitbang
      • Majelis Dikdasmen dan PNF
      • Majelis Pembinaan Kader dan SDI
      • Majelis Pembinaan Kesehatan Umum
      • Majelis Pembinaan Kesejahteraan Sosial
      • Majelis Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata
      • Majelis Pendayagunaan Wakaf
      • Majelis Pemberdayaan Masyarakat
      • Majelis Hukum dan HAM
      • Majelis Lingkungan Hidup
      • Majelis Pustaka dan Informasi
    • Lembaga
      • Lembaga Pengembangan Pesantren
      • Lembaga Pengembangan Cabang Ranting dan Pembinaan Masjid
      • Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis
      • Lembaga Pembinaan dan Pengawasan Keuangan
      • Lembaga Resiliensi Bencana
      • Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah
      • Lembaga Pengembang UMKM
      • Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik
      • Lembaga Seni Budaya
      • Lembaga Pengembangan Olahraga
      • Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional
      • Lembaga Dakwah Komunitas
      • Lembaga Pemeriksa Halal dan KHT
      • Lembaga Pembinaan Haji dan Umrah
      • Lembaga Bantuan Hukum dan Advokasi Publik
    • Biro
      • Biro Pengembangan Organisasi
      • Biro Pengelolaan Keuangan
      • Biro Komunikasi dan Pelayanan Umum
    • Profil
      • AD/ ART Muhammadiyah
      • Sejarah Muhammadiyah
      • Lagu Sang Surya
      • Organisasi Otonom
      • Cabang Istimewa/Luar Negeri
    • Ideologi
      • Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
      • Masalah Lima
      • Kepribadian Muhammadiyah
      • Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah
      • Khittah Muhammadiyah
      • Langkah Muhammadiyah
    • Daftar Anggota
  • Opini
    • Budaya Lokal
    • Filantropi & Kesejahteraan Sosial
    • Pemberdayaan Masyarakat
    • Lingkungan & Kebencanaan
    • Masyarakat Adat
    • Milenial
    • Moderasi Islam
    • Resensi
  • Hikmah
  • Hukum Islam
  • Khutbah
    • Khutbah Jumat
    • Khutbah Gerhana
    • Khutbah Nikah
    • Khutbah Idul Adha
    • Khutbah Idul Fitri
  • Tokoh
  • Kabar
    • Internasional
    • Nasional
    • Wilayah
    • Daerah
    • Ortom
  • Galeri
    • Foto
  • Login

© 2025 Persyarikatan Muhammadiyah - Cahaya Islam Berkemajuan.