MUHAMMADIYAH.OR.ID, SIDOARJO — Muhammadiyah menegaskan komitmennya untuk terus menjalankan peran dalam dakwah politik yang berlandaskan pada nilai dan moral. Menurut Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, Muhammadiyah telah dan akan terus mengikuti jejak para pendiri organisasi dalam berpolitik dengan tetap mempertahankan karakteristiknya yang konsisten.
“Kami ini di Pimpinan Pusat Muhammadiyah menjalankan apa yang dulu dilakukan oleh para tokoh Muhammadiyah dan sistem yang berlaku di Muhammadiyah. Bahwa ada perbedaan itu karena konteks dan situasi yang berbeda,” ucap Haedar dalam acara Kajian Ramadan 1445 H di Universitas Muhammadiyah Sidoarjo, Jawa Timur, pada Sabtu (16/03).
Haedar menekankan bahwa meskipun konteks dan situasi berubah, Muhammadiyah tetap akan terus mengadvokasi dakwah politik yang berbasis nilai dan moral. Organisasi ini juga aktif dalam membangun kehidupan bangsa telah dan akan terus berjuang melalui berbagai program nyata di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, ekonomi, dan lain-lain. Meski demikian, Muhammadiyah tetap menghadapi kritik dari berbagai pihak.
Haedar menyampaikan pesan kepada kader Muhammadiyah untuk tidak terlalu merespons kritik secara berlebihan, namun juga tidak boleh mengabaikannya. Mereka diingatkan untuk tetap memiliki rasa kepemilikan terhadap Muhammadiyah. Haedar juga mengakui bahwa ada tantangan yang sulit diatasi meskipun Muhammadiyah telah berupaya secara maksimal.
“Pesan saja kepada warga Muhammadiyah jangan terlalu reaktif juga terhadap kritik itu, tapi juga jangan ikut-ikutan, harus tetap ada rasa memiliki Muhammadiyah,” ucap Haedar.
Haedar yakin bahwa organisasi massa yang sering melakukan peran-peran kritis ialah Muhammadiyah. Dalam konteks sengketa Pemilu, Muhammadiyah lebih cenderung menyuarakan pendekatan moral dan konstitusional. Namun, Haedar menegaskan bahwa penyelesaian sengketa Pemilu bukanlah tugas Muhammadiyah, melainkan merupakan urusan partai politik. Dia menekankan, “Kalau Muhammadiyah mengurusi itu (sengketa Pemilu) kita melewati batas fungsi kita,” tegas Haedar.
Sikap Muhammadiyah yang menjaga jarak dengan kepentingan politik praktis ini sejalan dengan Sepuluh Kepribadian Muhammadiyah, di antaranya:
1.Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan;
2. Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah;
3. Lapang dada, luas pandangan dengan memegang teguh ajaran Islam;
4. Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan;
5. Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan serta falsafah negara yang sah;
6. Amar ma’ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik;
7. Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud islah dan pembangunan sesuai dengan ajaran Islam;
8. Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan ajaran Islam serta membela kepentingannya;
9. Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridhai Allah;
10. Bersifat adil serta korektif ke dalam dan ke luar dengan bijaksana.
Haedar menerangkan bahwa Sepuluh Kepribadian Muhammadiyah ini lahir pada tahun 1962 setelah belajar mengenyam pengalaman politik bersama Masyumi. Pada tahun 1959 pemerintahan Soekarno membubarkan partai Masyumi karena beberapa tokohnya dianggap terlibat dalam gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada 1958. Akibat dari krisis politik tahun itu kemudian membuat Muhammadiyah memilih bersikap netral-aktif dalam politik praktis.