MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Ketua PP Muhammadiyah Syamsul Anwar mengatakan bahwa salah satu problem utama manusia ialah permasalahan ketahanan pangan. Ia mengapresiasi langkah Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah yang bekerjasama dengan Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang akan menyusun Fikih Kedaulatan Pangan.
Dalam menyusun Fikih Kedaulatan Pangan ini, Majelis Tarjih menggelar seminar nasional Fiki Kedaulatan Pangan: Jihad Kedaulatan Pangan untuk Kesejahteraan Umt dan Kemandirian Bangsa di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabut (16/12). Rencananya, dari seminar ini akan dikumpulkan data-data yang relevan untuk menyusun pedoman Fikih Kedaulatan Pangan.
Menurut Syamsul, komposisi Fikih Kedaulatan Pangan perlu menggali kearifan-kearifan religius yang terdapat dalam al-Qur’an dan Sunnah menjadi langkah penting dalam memahami esensi kedaulatan pangan. Pandangan para ulama klasik dari tradisi intelektual Islam juga memegang peranan signifikan dalam membentuk perspektif ini.
Para ahli ekonomi di zaman klasik, seperti Abu Muslim al-Asfahani, telah memberikan kontribusi berarti terhadap pemahaman tentang pentingnya kebutuhan pangan. Al-Asfahani menegaskan bahwa pemenuhan kebutuhan manusia bukan sekadar keinginan, melainkan suatu kewajiban hukum. Dalam pandangannya, setiap individu memiliki tanggung jawab produksi minimal untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Menurut Syamsul, Al-Asfahani menempatkan kebutuhan pangan sebagai bagian dari maqashid syariah, yaitu tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh syariah Islam. Dua maqashid syariah yang relevan dengan masalah pangan, menurutnya, adalah melindungi hidup manusia (hifdzu nafs) dan mengelola sumber daya kebutuhan hidup manusia (hifdzu amwal).
Pemikiran Al-Asfahani tidak hanya terbatas pada aspek kebutuhan umum, melainkan juga membagi tiga jenis kebutuhan hidup manusia. Pertama, al maslahat al-dharuriyah, yang mencakup kebutuhan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup. Kedua, al-maslahat al-hajjiyah, mengacu pada kebutuhan hidup yang bersifat normal. Ketiga, al-maslahat al-tahsiniyah, mengenai kebutuhan hidup tambahan yang memberikan kesejahteraan.
Tanpa adanya al-maslahat al-dharuriyah, kebutuhan yang esensial untuk kelangsungan hidup, manusia akan berada dalam ancaman yang serius. Kehidupan ini menjadi rapuh dan rawan terhadap ancaman eksternal yang dapat mengancam eksistensinya. Oleh karena itu, melalui pemenuhan kebutuhan dasar inilah, konsep kedaulatan pangan merangkum peran penting dalam melindungi hidup manusia (Hifdzu Nafs).
Sebaliknya, ketiadaan al-maslahat al-hajjiyah, kebutuhan yang bersifat normal, akan menghadirkan tantangan yang dirasakan secara lebih luas. Hidup akan terasa sulit dan penuh dengan keterbatasan, tanpa keberlanjutan pemenuhan kebutuhan yang mencakup aspek-aspek rutin kehidupan. Oleh karena itu, al-maslahat al-hajjiyah menjadi elemen krusial dalam memastikan kehidupan manusia yang layak dan berkelanjutan.
Ketiadaan al-maslahat al-tahsiniyah, kebutuhan hidup tambahan yang memberikan kesejahteraan dan keindahan, mungkin tidak mengancam kelangsungan hidup fisik, tetapi dapat memberikan dampak pada kualitas hidup secara keseluruhan. Hidup tanpa keindahan dan kesejahteraan tambahan ini mungkin terasa monoton dan kurang memuaskan secara emosional.
Dengan merangkul ketiganya, kedaulatan pangan tidak hanya mencakup aspek ekonomi dan fisik, tetapi juga menjadi penjelasan holistik tentang bagaimana melihat peran dan tujuan pangan dalam kehidupan sehari-hari. Seiring dengan pandangan keagamaan dan tradisi intelektual, kedaulatan pangan bukan sekadar kendali atas produksi pangan, melainkan juga suatu nilai dan prinsip yang menciptakan keseimbangan dan kesejahteraan dalam kehidupan umat manusia.