Oleh: A’an Ardianto
Semangat memodernisasi dan memajukan peradaban yang diinginkan oleh Persyarikatan Muhammadiyah lahir genial dari rahim Islam, tidak mencontek atau mereplikasi secara utuh modernitas dan kemajuan yang dicapai oleh Barat saat ini.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir pada beberapa kesempatan sering menyebut peradaban maju yang ingin dibangun oleh Muhammadiyah – Islam adalah kemajuan yang tidak meninggalkan ketuhanan dan kemanusiaan. Haedar menyebutnya sebagai paradigma Teoantroposentris.
Jika dilacak ke belakang dari pandangan kemajuan tersebut, salah satunya ditemukan kesamaan dengan yang diinginkan oleh kelompok perempuan Muhammadiyah atau ‘Aisyiyah. Misalnya saja dalam pidato Siti Munjiyah yang disampaikan saat Kongres Perempuan Indonesia pada 1928.
Dikutip dari pidato yang diterbitkan Suara Muhammadiyah (SM) No 5 – 6 tahun XI Agustus 1929, Siti Munjiyah memaparkan data bahwa kemajuan yang diraih oleh Barat tidak bisa dicontoh maupun ditolak semua. Pasalnya, dalam kemajuan setiap peradaban termasuk peradaban Barat memiliki sisi positif dan negatif.
Siti Munjiyah membangun argumennya dengan memaparkan data tentang angka-angka perceraian yang terjadi di Amerika yang dirilis oleh Daily Express pada 1926. Siti Munjiyah juga menyoroti budaya busana yang dipakai oleh perempuan Barat yang menurutnya terlalu ‘merdika’ atau terbuka.
“Soenggoeh sangat tjoekoep akan model-modelnya pakaian apa sadja ada. Sebentar bentar ganti dengan mode jang bertentangan atas keperempoeannja, dan jang bawah ditarik mengatas, lengan badjoenja tidak poela mendjadi soal penoetoepan malah-malah dipotong sama sekali,”.
Perempuan Indonesia dilarang meniru budaya busana tersebut, menurut Siti Munjiyah, Indonesia memiliki budaya sendiri. Bahkan budaya busana yang dianggap populer tersebut diwanti-wanti supaya tidak menjalar sampai ke Indonesia. Siti Munjiyah menyebut, budaya merdeka tersebut menjadi salah satu pemicu retaknya hubungan suami istri di Barat.
“Bahwa bagi nyonja-nyonja teroetama pemimpin di Indonesia sajogijanja memperhatikan benar, djangan sampai tjara jang demikian itoe mendjalar di tanah kita Indonesia. Mereka bangsa Europa berfiki, bahwa dengan tjara jang demikian itoe maka moemkinlah akan tidak bertjerai dengan soeaminja”.
Menurut Siti Munjiyah, perempuan Indonesia lebih baik menghidup-hidupkan adat istiadat dan kesusilaan yang halus. Adat dan kesusilaan yang dimiliki Indonesia tidak kalah dengan budaya Barat dan bangsa-bangsa lain. Akan tetapi, perempuan Indonesia tersilaukan pada ihwal dunia yang serba banal, dangkal, dan tidak memiliki substansi.
“Boekan maksoed kami bahwa semoea kemadjoean bangsa Europa itoe tidak seharoesnja ditjontoh, itoe tidak, sebab diantaranja ada poela jang patoet kita tiroe. Kita wadjiba memilih, mana jang baik dan lajak kita tiroe, dan mana poela jang tidak pada kepatoetan”.
Membangun Peradaban Ilmu
‘Aisyiyah pada 1919 mempelopori pendirian lembaga pendidikan bagi anak usia dini, atau Froebel Kindergarten ‘Aisyiyah di Kampung Kauman, Yogyakarta. Pilihan gerakan cerdas yang dilakukan oleh Siti Walidah dan perkumpulannya waktu itu membuahkan hasil manis. Taman Kanak-kanak ‘Aisyiyah Bustanul Athfal (TK ABA) yang dulunya Froebel Kindergarten telah melahirkan bangsa yang cerdas, berbudi luhur.
Perihal ilmu pengetahuan, Siti Munjiyah dalam Pidatonya di Kongres Perempuan Indonesia 1928 itu menyebut, bahwa kemajuan ilmu menjadi kemajuan dari Barat yang wajib dicontoh oleh perempuan Indonesia. Urusan pengetahuan di waktu itu bagi bangsa Indonesia masih mengalami dikotomi, sebab yang diberi prioritas hak menuntut ilmu adalah kelompok laki-laki.
Pandangan kesetaraan menuntut ilmu telah kuat mengakar dalam diri Siti Munjiyah, dan perempuan yang tergabung dalam ‘Aisyiyah. Kesetaraan akses terhadap ilmu telah dibangun oleh Kiai Ahmad Dahlan, perempuan-perempuan muda dikumpulkan oleh Kiai Dahlan dalam sebuah perkumpulan yang diberi nama Sopo Tresno pada 1914.
Dalam usaha membangun masyarakat ilmu yang dilakukan ‘Aisyiyah sejak 1919 sampai sekarang telah memiliki lebih dari 20 ribu lebih TK ABA yang tersebar di provinsi se-Indonesia, bahkan juga sudah ada TK ABA yang berdiri di luar negeri. Selain itu, ikhtiar membangun masyarakat ilmu juga diwujudkan ‘Aisyiyah dengan berdirinya perguruan tinggi, saat ini yang terbesar ada di Yogyakarta.
Selain menginstitusionalisasikan amal salih menjadi institusi pendidikan, usaha ‘Aisyiyah membangun peradaban ilmu juga dilakukan melalui gerakan literasi seperti sejak awal dilakukan oleh Sopo Tresno yaitu pemberantasan buta huruf Arab dan Latin pada 1923, dan menerbitkan majalah perempuan dengan nama Suara ‘Aisyiyah (SA) pada 1926 yang masih terbit sampai sekarang.
Terkait dengan peran perempuan dalam membangun peradaban, Siti Munjiyah menyebut bahwa antara laki-laki dengan perempuan mempunyai kesempatan yang sama. “Hoekoem Islam di terangkan, bahwa Perempoean dan Lelaki itoe bedalah. Perbedaan ini boekan dari pehak lelaki lebih tinggi deradjatnya, dan pehak perempoean itu lebih rendah, tidak !”.