MUHAMMADIYAH.OR.ID, BANDUNG – Sebagai salah satu kekuatan pilar demokrasi, Muhammadiyah dalam posisinya sebagai masyarakat sipil dikenal kritis dalam mengawal setiap kebijakan pemerintah, termasuk dalam bidang pendidikan.
Meski kritis, sikap Muhammadiyah ini menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir bukanlah bersifat oposan, apalagi primordial dan patrialistik. Sikap Muhammadiyah, kata dia semata-mata akademis guna menjaga agar jalur kebijakan pemerintah selalu berada di atas rel konstitusi.
Pada bidang pendidikan misalnya, Muhammadiyah secara detil mengkritisi produk seperti Rancangan Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2035 hingga Peta Jalan Indonesia 2045 yang dinilai disorientatif karena luput memperhatikan aspek imaterial seperti nilai agama dan kebudayaan luhur bangsa.
Dalam orasi ilmiah bertema “Visi dan Misi Pendidikan Indonesia” pada Lustrum ke-12 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UNISBA, Selasa (20/12), Haedar menjelaskan bahwa pada produk kebijakan pendidikan nasional itu, umumnya diketahui terlalu mengedepankan aspek rasional-instrumental saja.
Padahal, aspek yang bersifat nilai seperti agama (iman, takwa, akhlak mulia) dan nilai kebudayaan secara integral masuk dalam distingsi pendidikan nasional. Misalnya pada Pasal 31 UUD 1945 ayat 3 dan 5 serta Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
“Kewajiban pemerintahan dan kementerian semestinya mengelaborasi, mengaktualisasikan dan mentransormasikan nilai-nilai itu di dalam kebijakan yang kebijakan itu baik yang berjangka menengah atau berjangka panjang tidak boleh bertentangan (dengan konstitusi),” kata Haedar.
“Maka ketika sempat hilang frasa agama dan kata agama bukan soal kita berfikir ekslusif dan berpikir patrimornialistik atau primordialistik, tapi kita berpikir dalam konstitusi bahwa agama, nilai agama, kebudayaan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak mulia itu sudah menjadi satu kesatuan dari nilai pendidikan Indonesia,” tegasnya. (afn)