MUHAMMADIYAH.OR.ID, YOGYAKARTA—Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ghoffar Ismail menegaskan bahwa ketika seorang meninggal, maka ia tidak akan kembali ke alam dunia. Ada beberapa pendapat tentang keberadaan ruh setelah meninggal hingga hari kiamat. Dari sekian banyak pendapat yang ada, tidak satu pun yang menerangkan bahwa ada ruh yang gentayangan.
Bisa jadi, ruh-ruh yang bergentayangan itu adalah setan yang melakukan tipu daya dengan menyerupai orang yang sudah meninggal. Agar bisa terbebas dari gangguan-ganguan arwah jahat yang itu merupakan setan yang melakukan tipu daya, yaitu dengan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt, dengan menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhkan segala larangan-Nya yang merupakan jalan setan, serta senantiasa berdzikir dan mengingat Allah.
Adapun mengenai kemungkinan adanya komunikasi antara manusia yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal, menurut Ghoffar, hal tersebut tidak benar. Tidak ada hadis yang menjelaskan bahwa ruh manusia yang telah meninggal dapat saling bertukar informasi dengan manusia yang masih hidup. Sampai para Nabi dan wali yang telah meninggal sekalipun, tidak bisa berkomunikasi dengan manusia yang masih hidup.
“Tidak ada riwayat hadis yang menerangkan bahwa arwah seseorang yang telah meninggal berdiam di rumah selama satu bulan dan di atas kuburannya selama setahun. Ini tidak ditemukan dalam hadis sahih, tidak pula dalam Bukhari dan Muslim,” ucap Ghoffar dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (09/11).
Memang terdapat firman Allah dalam QS. Ali Imran ayat 169: “Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” Ada juga hadis yang menyatakan bahwa “Para Nabi itu hidup di dalam kubur mereka senantiasa dalam keadaan salat.” [HR. al-Baihaqi].
Dalam Fatwa Tarjih dijelaskan bahwa maksud ayat di atas adalah menjelaskan tentang adanya bentuk kehidupan yang dialami para Syuhada dan para Nabi setelah mereka meninggal. Kehidupan yang dimaksud adalah kehidupan secara khusus yang tidak dapat diketahui hakikatnya kecuali oleh Allah swt. Sementara itu, mengenai hadis dari al Baihaqi di atas, setelah diteliti dan ditelusuri sumber hadisnya, Majelis Tarjih menemukan ada rawi yang dinilai bermasalah yaitu Hasan bin Qutaibah dan Husain bin ‘Arafah yang mengakibatkan kedaifan kualitas hadis tersebut.